Selasa, 29 April 2008

The Power of Love


Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit :Penerbitan Bentang, Yogyakarta
Distributor : Mizan Media Utama (MMU), Bandung
Tebal : 524 halaman
Terbit : 2005 / edisi hardcover terbit pertama Januari, 2008
Hare gene meresensi Laskar Pelangi ? Ketinggalan kereta, Man ! Saya jawab: Biarin Cing ! Ya, ya... untuk ukuran novel yang cetak pertamanya tahun 2005, dan sudah heboh dibicarakan disana-sini, mereviewnya saat ini terlalu basi. Tapi siapa peduli ! Kenapa ? Karena pendapat subyektif saya mengatakan : novel ini layak direview di sini. Kapanpun ! Tidak ada kata terlambat. A must read ! two thumbs up ! excelent !

Sudah sekitar satu tahun yang lalu, tiap kali masuk ke toko buku langganan, saya melihat buku dengan nuansa sampul merah jingga, ditata rapi di satu tempat, di bawah penunjuk bertuliskan 'Buku Laris', berjudul Laskar Pelangi.

Oh novel, gumamku suatu ketika saat kubuka-buka halaman awal. Saya bukan penikmat novel. Dari sekian banyak buku yang pernah kubeli, tak satupun novel ada di dalamnya. Pun belum pernah tertarik apalagi menyengaja membaca dari awal hingga akhir. Pernah adik ipar bawa novel ke rumah, yang di kemudian hari difilmkan, dan ditonton - bahkan - oleh presiden kita. Tapi nyaris tak satu babpun saya selesaikan. Saya baca melompat-lompat dan bosan dengan sendirinya, tanpa mendapatkan alur utuh ceritanya.

PROLOG

Demikian tiap kali saya ke toko itu. Ini novel tetap bertumpuk, di situ. Banyak. Gak laku apa, dari kemarin-kemarin koq kayak gak berkurang, pikirku.

Hingga dalam acara Kick Andi, Metro TV, novel ini dibahas. Si Penulis diundang. Kalau sampe diundang oleh Si Kribo itu tentu ada apa-apanya dengan ini orang, pikirku meraba-raba. Sayang saya tidak sempat menontonnya.

Lalu saya melihat dua teman di kantor membaca buku yang sama. Juga beberapa kali penumpang di bus. Iseng-iseng saya tanya ke Warsito, kolegaku di kantor. "Ceritanya bagus Mbah, bla...bla... bla...!" Jawabnya antusias. Darinya pula saya tahu bahwa Laskar Pelangi adalah buku pertama dari sebuah tetralogi. Tiga saudara kandungnya adalah : Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov.

Sore itu, sepulang bekerja kusempatkan mampir di Gramedia Matraman. Enam puluh ribu rupiah kuserahkan ke kasir, dan buku itupun masuk backpack
-ku, berjejalan dengan laptop Dell Latitude D420 inventaris kantor.

Ehm tahukah Kawan (he..he..ngikutin gaya bertutur di buku itu), ini novel pertamaku dan aku trance. Ramuan kata-katanya menyihir, menyengat, memerah airmata tawa dan haru, mengaduk-aduk kesadaran, bagaikan mesin cuci memusing gumpalan pakaian. Berbisik, menjerit, berteriak, bergumam, menggigau, menggertak, merajuk, mengaduh, merayu, meradang, betul-betul memabukkan. Membacanya membuka cakrawala baru buatku : ternyata novel tidak kalah mengasyikkannya dari kolom, biografi atau sejarah, tiga jenis tulisan favoritku.

PADA AWALNYA ADALAH CINTA

Secara keseluruhan novel ini berbasis memoar penulisnya.

Pada awalnya adalah cinta. Kecintaan Ikal kepada kampung halaman, teman-teman Laskar Pelangi, dan terutama Ibu Guru Muslimah (Bu Mus), juga kepala sekolah, Pak Harfan. Ada lagi.... A Ling, sosok dimana cinta pertama obsesif Ikal tertuju. Kecintaan itulah pendorong utama Andrea Hirata untuk mendirikan monumen kenangan hidup ini, mengenang perjuangan merengkuh obsesi : pendidikan, pendidikan dan pendidikan. Sebuah pertaruhan hidup mati agar terlepas dari kutukan kemiskinan dan keterbelakangan.

Laskar Pelangi adalah julukan yang diberikan Bu Mus kepada 10 orang murid SD Muhamadiyah di Kampung Gantong, pelosok Pulau Belitong, pada tahun 70-an. Lintang, Ikal, Trapani, Mahar, Samson, Kucai, Sahara, A Kiong, Syahdan, Harun. Ya Hanya sepuluh. Satu Kelas sepuluh siswa.

Lintang, murid jenius. Pemegang rangking satu abadi. Mengayuh sepeda 80 km pergi pulang untuk bersekolah, setiap hari, melintasi sungai tempat buaya menunggu mangsa. Sayang, pada akhirnya, saat kelas dua SMP, ia terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya meninggal dunia. Ia yang merupakan anak laki-laki tertua di keluarganya mesti mengambil alih biduk keluarga, agar kapal dengan 14 penumpang itu tidak karam di tengah jalan.

Ikal adalah panggilan Andrea Hirata. Seperti juga murid yang lain, ia datang dari keluarga miskin, kuli kasar PN Timah. Ia duduk sebangku dengan Lintang selama tujuh tahun. Pemilik rangking dua abadi – karena tidak pernah bisa mengalahkan teman sebangkunya itu. Yang karenanya, saat Lintang putus sekolah karena kemiskinan, bara dendam terpantik di hatinya ; kepapaan tak boleh menjadikannku Lintang kedua. Perlawanannya yang membara terhadap belenggu kemiskinan berbuah rontoknya ketidakmungkinan-ketidakmungkinan : kuliah di universitas terbaik negeri ini : Universitas Indonesia. Menempuh pendidikan master di salah satu universitas terbaik di dunia : Universitas Sorbonne, Paris.

Trapani. Lelaki paling tampan di kelas. Otaknya encer. Pemegang rangking-satu-tingkat di bawah Ikal. Mom Embedded. Tidak bisa jauh jauh dari ibunya. Ujung-ujungnya ibunyapun menderita sindroma yang sama, Son Embedded. Tidak bisa jauh jauh dari anaknya.

Mahar. Wow, seniman alam, seniman sejak dalam kandungan ! Dengan ide briliannya SD kampung kumuh berhasil meruntuhkan dominasi SD PN (Sebutan untuk SD elit asuhan PN Timah, yang untuk diijinkan sekolah di sana, seorang anak harus memiliki orang tua dengan pangkat minimal tertentu) dalam karnaval tujuh belasan.

Idenya adalah huru-hara di ladang penggembalaan Suku Masai di Afrika. Sekelompok lembu diserang gerombolan cheetah Sang Pemangsa. Kemudian Moran atau prajurit Suku Masai yang terkenal itu datang mengusir. Demikian saja. Sederhana. Namun dengan sedikit muslihat – dengan rangkaian kalung dari buah aren - Mahar berhasil mendrive para penampil agar menari kesetanan. Inilah salah satu (menurut saya) puncak ekstase novel ini. Saat sampai pada bagian ini serasa Mahar berjingkrak-jingkrak di atas kepalaku, kesurupan menabuh tabla, menghentak-hentak dada. Lalu barisan mamalia Afrika, mengibaskan-ngibaskan mahkota dedaunan, bergulingan di ubun-ubunku. Demikian nyata. Akar budayaku adalah budaya kampung, sama persis dengan mereka. Tentu saja seribu persen kuhayati, betapa getah buah aren menghunjamkan seribu rasa gatal, seribu rasa panas dan seribu rasa jengkel tak tertahankan saat garukan tangan kita, sekencang apapun, tak mempan meredakannya. Jika saat itu Mahar merangkainya menjadi kalung, paling tidak ada sepuluh biji melingkar di leher. Ya, sepuluh biji. Amboi, satupun, yang pernah kurasakan, gatalnya tak terkira-kira. Hingga kuhabiskan air berember-ember, serta deterjen ibuku untuk mengusir rasa itu.

Borek, Sang Pria Macho. Pertemuannya dengan bekas kaleng minyak penumbuh bulu dari Jazirah Arab telah mengajarinya satu hal : urusan terpenting bagi seorang lelaki di muka bumi ini adalah membesarkan ototnya. Ia berhasil. Otonya tumbuh bak atlet binaraga. Oleh karenanya, ia memiliki panggilan populer layaknya artis : Samson.

Kucai, memiliki seluruh kualitas untuk menjadi politikus : berkepribadian populis, bermulut besar, banyak teori dan sok tahu tapi otak lemot. Sang ketua kelas. Pandai bergaul, yang karenanya memiliki network yang luas. Bertahun-tahun menjadi ketua kelas membuatnya bosan. Juga sedikit rasa takut akan pertanggungjawabannya sebagai pemimpin kelak di akhirat, mendorongnya untuk mengusulkan pemilihan ketua kelas baru. Sial, seluruh siswa memilihnya kembali. Beruntung ia. Rupanya kehidupan sedang menyiapkannya menjadi ketua dalam skala yang lebih besar, ketua salah satu Fraksi di DPRD Belitong, itulah jabatannya sekarang. Jabatan yang betul-betul sesuai dengan kualitas dirinya.

Sahara, satu-satunya betina di Laskar Pelangi. Ramping, berjilbab dan sedikit beruntung. Bapaknya pegawai PN dengan penghasilan lumayan. Kepala batu namun menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Meski diancam akan dilemparkan ke dalam api yang berkobar-kobar, tak satupun dusta akan keluar dari mulutnya. Sekolah mempertemukannya dengan musuh sejatinya : A Kiong. Ya, dua makhluk ini adalah seteru abadi.

A Kiong. Bapaknya aneh. Tiong Hoa miskin pemeluk Kong Hu Cu sejati ini justru mendaftarkan anaknya bersekolah di sekolah Islam Muhammadiyah. Pria naif yang melihat dunia hitam putih. Wajahnya tidak cukup tampan, namun hatinya baik luar biasa, penolong dan ramah kecuali kepada Sahara.

Syahdan, manusia paling tidak penting dalam Laskar Pelangi. Selalu kebagian peran disuruh-suruh. Menyimpan obsesi menjadi aktor besar sepanjang hayat. Namun roda nasib berkata lain. Lewat sebuah kursus komputer ia berhasil menjadi programmer handal, network designer dan mendapat kualifikasi Sisco Expert Network dari Kyoto University, Jepang. Sang gagap teknologi itu kini menjadi Information Teknologi Manager sebuah perusahaan multinasioanl di Tangerang.

Harun, Juru Selamat. Ia layak mendapat julukan itu. Ia adalah murid yang mendaftar sekolah pada detik-detik terakhir, di saat pedang algojo dinas pendidikan sedang terayun ke leher SD Muhammadiyah Belitong : BUBARKAN SAJA JIKA TIDAK MENDAPAT SISWA MINIMAL SEPULUH ! Dan Harunlah Si Murid Ke Sepuluh. Karenanya ayunan pedang terhenti. Sebetulnya, niat ibunya bukan menyekolahkan tetapi hanya menitipkan saja, karena di Belitong tidak ada Sekolah Luar Biasa untuknya.

EPILOG

Buat Andrea Hirata.
Sore itu, setelah mengantar saudara ke kota, selepas perempatan Matraman, seorang pengasong menawarkan buku-buku. Yang menarik, ada buku ketiga tetralogimu itu. "Endensor, Endensor" bujang itu mengeja judul novelmu dengan salah."Ayo yang belum baca Laskar Pelangi ketiga, diobral, cukup dua puluh ribu saja". Kebetulan, Bukankah saya sedang akan membelinya. Namun saat bujang itu mendekat dan mengacungkan dagangannya, saya dilanda rasa ragu. Sampulnya terlalu pucat. Bajakankah ? Keyakinanku sontak datang saat kulihat tulisan Edensor di sampul tidak embosed. Seratus persen palsu, Saudara-saudara !

Setelah tahu ada versi bajakannya, iseng-iseng saya nanya teman-teman yang memiliki novelmu. Mengerikan, dari enam teman sekantorku yang memilikinya, tiga diantaranya bajakan. Kurang jelas penyebabnya, apakah ketidaktahuan atau kesengajaan mencari yang murah. Ikal, sudahkah kau / penerbit mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menghadapi hal ini.

Saya gak berminat membeli buku bajakan. Suwer ! Minggu kemarin telah datang ke ruanganku kurir dari sebuah toko buku maya mengantarkan buku pesananku : Edensor. Alhamdulillaah.

BTW ditunggu buku ke-empatnya. Maryamah Karpov ? A Ling Kah ? atau Nurmi yang hampir hendak ditukarkan biolanya dengan beras oleh Mak Cik ? Atau sama sekali orang yang lain ? Ah, bikin penasaran saja, Kau Kawan !