Selasa, 18 Januari 2011

Pertanyaan Orang Awam tentang Antibiotik

Photo : epthinktank.eu


‘Yang ini diminum sampai habis ya Pak’. Demikian selalu dikatakan oleh dokter atau pegawai apotek seraya menunjuk salah satu kemasan s‘Hmm...ini pasti antibiotik’, batin saya. Sepanjang ingatan saya setiap saya atau keluarga berobat selalu ada antibiotik dalam resep yang kami terima.
aat saya menerima paket obat dari mereka.

Demikianlah adanya, antibiotik harus dihabiskan. Konon, jika tidak dihabiskan hanya akan membuat kuman resisten atawa kebal. Jika itu yang terjadi maka Si Sakit akan butuh antibiotik yang lebih sakti lagi. Begitu seterusnya.

Ada yang mengganjal di hati ini. Logika bahwa antibiotik habis=kuman mati belum sepenuhnya saya terima.

Kalau tujuan akhirnya menewaskan kuman kenapa pesannya tidak ‘Yang ini diminum sampai kumannya mati ya Pak’. Jika perlu ditambahi ‘Jika kumannya belum mati juga silahkan ke sini lagi biar kami tambahi dosisnya’

Mungkin kita spontan berkata ‘Bagaimana orang awam seperti kita bisa mengetahui kumannya sudah mati atau tidak’.

Ok, kalau demikian lalu kita akan bicara masalah pendosisan. Jika rumusnya adalah habis=kuman mati, asumsinya dokter tahu betul berapa dosis untuk masing-masing pasien untuk tiap jenis kuman untuk tiap jenis penyakit. Sehingga saat memutuskan dosis dokter punya keyakinan penuh jika antibiotik dihabiskan maka kuman mati ceteris paribus. Karena apalah gunanya dihabiskan kalau dosisnya kurang dari yang seharusnya. Itu sama saja dengan dosisnya cukup tapi tidak dihabiskan, bukan ?

Lalu saya berburu tahu. Pernah saya tanyakan ke seorang dokter pengasuh sebuah blog, bagaimana sih dosis antibiotik ditentukan ? Dia menjawab bahwa dosis antibiotik ditentukan berdasarkan berat badan pasien. Saya pegang jawaban itu hingga suatu kali saya berobat ke dokter dan rekaman ‘Yang ini diminum sampai habis ya Pak’ diperdengarkan lagi. Saya ingat-ingat, dan yakin betul dari sejak pendaftaran hingga menebus obat tak sekalipun saya diminta menimbang badan atau ditanya dokter perihal berat badan. Apakah pengasuh blog itu yang tidak menjawab yang sebenarnya ataukah dokter itu yang tidak menjalankan SOP dalam menegakkan diagnosa, atau hanya dengan melihat penampakan saya dokter itu bisa menebak berat badan saya ? Entahlah.

Ada dikatakan bahwa kuman dapat kebal terhadap antibiotik. Untuk mengatasinya pasien butuh antibiotik yang lebih sakti lagi. Jika demikian adanya lalu kenapa saat dokter memberikan resep antibiotik tidak dulu diyakinkan bahwa kumannya tidak kebal dengan antibiotik yang akan diberikan ? Jika yang terjadi sebaliknya bukankah hanya sia-sia belaka yang kita dapat meskipun itu antibiotik kita habiskan ?

Tulisan di atas jika dibaca oleh orang yang tahu duduk permasalahannya sangat mungkin ada banyak kelucuan, keluguan, atau kerancuan baik dalam substansi maupun pemakaian istilah. Semua itu –pastinya- akibat ketidaktahuan saya. Tak mengapa. Itulah faktanya : saya awam dalam hal ini plus sedikit paranoid akan kesehatan. Justru karena itulah tulisan ini saya buat.

Juga ada sedikit prasangka bahwa ada kesembronoan di dunia kedokteran dalam pemberian antibiotik kepada pasien. Semoga prasangka saya salah.

Anda tahu jawaban atas hal-hal di atas ? Ditunggu komentarnya. Khususnya para dokter, apoteker, ahli farmasi nyuwun pencerahannya nggih.



Sabtu, 01 Januari 2011

Naik KRL Bersama Orang-Orang Hebat Indonesia


Photo : express.co.uk

Senin 26 Oktober 2009 saya mendapat undangan ‘konser’ dari teman-teman Subdit Setelmen Transaksi di Wisma Anggraini, Puncak. Konser adalah bahasa slank untuk konsinyering, yang arti gampangnya adalah rapat di luar kantor.

Sesudah malam yang produktif itu, pagi-pagi, sehabis Subuh saya segera berkemas. ‘Pulang kapan Man ?’ Tanyaku ke Iman, teman sekamar, dengan nada menawarkan untuk pulang bersama. ‘Aku agak siangan, Mas. Bareng rombongan aja’ Sahutnya, sambil mengibaskan selimut, bergegas hendak melanjutkan boboknya. No problemo, Man. Tapi saya harus sampai kantor sepagi yang saya bisa. Hari ini, tiga kolegaku off. Satu cuti haji, satu pulang kampung menghadiri pemakaman neneknya, satu lagi tidak aktif. Jika saya tidak ngantor, karena status saya sedang tugas luar, bisa kacau dunia. (sok penting mode on).

Dari Cisarua, setelah ganti angkot dua kali sampailah saya di Stasiun Bogor. Untuk menuju Jakarta ada beberapa pilihan. Kereta Pakuan Express, Ekonomi AC, serta Ekonomi Biasa. Pilih yang mana ? Lempar koin ! Gambar berarti naik Ekonomi Biasa. Angka berarti naik Pakuan Ekpress. (Jangan percaya ini hanya dramatisasi saja he..he..). Pilah-pilih, timbang-timbang naik Ekonomi Biasa saja, secara saya termasuk kasta sudra ini….. Ongkosnya murah. Cuman dua ribu perak. Perjalanan sejauh itu hanya seharga dua kali pipis di toilet umum.

‘Yang ke Kota mana Bang ?’ tanyaku ke tukang koran, takut salah naik. 'Ini nih' Jawabnya sambil menunjuk kereta di hadapanku. Tidak ada lagi tempat duduk tersisa. Jadilah saya berdiri dekat pintu sambil berpegang pada besi ram pelindung blower yang sudah tidak lagi berfungsi. ‘Ini ke kota ya Bang ?’ Tanyaku ke penumpang sebelah, untuk lebih meyakinkan. ‘Gak tahu saya’. Lho piye tho ? Ya sudah saya yakin-yakinkan diri bahwa saya tidak salah naik. Tak berapa lama kereta berangkat. Duh, dari stasiun pertama saja sudah demikian padat.

Saya tidak hapal urut-urutan stasiun sejak Bogor hingga Kota ; Bojong Gede, Cilebut, Citayam, trus ….? Baru stasiun ketiga, menurut ukuran normal, gerbong sudah tidak mampu lagi dimuati lebih banyak penumpang. Namun demikian orang-orang itu dengan gigih tetap berusaha merangsek ke dalam laksana serbuan Banzai tentara bayonet Dai Nipon dalam Pertempuran Saipan di Kepulauan Marianna Pasifik. Semua calon penumpang di stasiun seakan-akan pelari sprint menunggu aba-aba wasit. Semua dalam posisi ‘bersedia’ saat kereta nampak di kejauhan. Derit rem kereta adalah aba-aba ‘siap’. Hentakan kereta berhenti adalah bunyi ‘prit’ peluit. Semua berebut. Lady first ? Semua lady ! Semua first !

Stasiun demi stasiun. Gelombang demi gelombang manusia. Turun satu naik seribu. Tidak ada lagi sisa ruang untuk sekadar menggeser kaki. Berani mengangkat kaki, siap-siap tidak dapat ruang menapak kembali. Saat masinis mengerem, penumpang terlempar ke depan. Tergencet. Pegangan terlepas. Saat kereta berangkat penumpang terlempar ke belakang. Tergencet lagi. Pegangan terlepas lagi. Sejauh ini tidak terdengar keluh-kesah. Yang ada justru celotehan. ‘Masinisnya becanda nih’ Terdengar gurauan. Saat himpitan makin tak tertahankan, mulai terdengar ‘Aduh-aduh, jangan dorong-dorong dong Pak’ Seru ibu-ibu di dekat tangga. ‘Naik kereta dua ribu perak ini, jangan pake marah dong’ Sahut Si Bapak galak. Orang-orang hanya tersenyum. Lebih banyak lagi tak peduli. Namun tidak ada amarah.

Di stasiun yang ke sekian kereta berhenti. Agak lama. Saya hampir tidak tahan. Saya belum sarapan. Saya merasa diri ini tinggal kepala. Leher ke bawah entah kemana. Mati rasa. Tenggelam dalam lautan peluh. Penumpang-penumpang adalah kepala-kepala yang thingak-thinguk kiri-kanan berebut oksigen. Berhenti berarti pertukaran udara di gerbong juga berhenti. CO2 yang dihembus penumpang sebelah saya hirup. CO2 yang saya hembus dihirup penumpang sebelah lagi. Demikian seterusnya. Rupanya kereta kaum proletar ini sedang menunggu kereta kaum borjuis, Pakuan Ekpress yang hendak mendahului.

‘Kemaren ada copet dipukuli sampai babak-belur‘ Seorang bapak membuka pembicaraan. ‘Kalau dia bukan copet beneran, gimana coba ? Kasihan khan !’

‘Ah, biarin aja. Ngapain kasihan. Rumusnya memang pukulin dulu, siapa tahu dia copet beneran’ Timpal rekannya. Ternyata komunitas komuter ini punya logika berpikirnya sendiri.

Kereta Pakuan Ekpress lewat. Lampunya menyala terang. ACnya berhembus sejuk sepoi-sepoi. Penumpang duduk aman sentosa di dalamnya. Kereta apiku seakan menunduk takzim, mempersilahkan tuannya mendahului.

‘Menteri-menteri baru itu, belum-belum sudah mau naik gaji. Termasuk menhub. Benerin dulu dong KRL. Ini sudah tidak manusiawi’ Seorang lelaki, tepat di hadapanku, dengan logat swarnadwipa tiba-tiba berpidato. Orang-orang tak mengacuhkannya. Tak mengapa. Anggap saja itu sebagai katalis atas kesuntukan hidupnya selama ini. ‘Sekali kali menteri-menteri, anggota DPR atau presiden sekalian, suruh rasain naik KRL. Biar mereka tahu keadaan rakyatnya, bla..bla..bla..Gara-gara penuh sesak begini, kasihan tuh mahasiswi-mahasiswi gak berani naik' Kutuknya dengan nada kesal sambil mengarahkan pandangan ke wajah-wajah bening yang bergerombol di plasa stasiun. He..he.. koq ujung-ujungnya mahasiswi. Yang gak berani naik gak cuman mereka, Om. Tuh, Mbok-mbok jamu gendong dan Kang Sudar kuli gali tanah juga manyun di stasiun menunggu kereta berikutnya.

Sudah sampai mana, Bang ?’ Tanyaku kepada seorang anak muda.
‘Cikini’ Jawabnya.
‘Juanda ?’
‘Oh, sebentar lagi. Habis Gambir’

Saat stasiun warna orange itu di depan mata, saya bersiap turun. Ternyata saya yang semula berdiri di depan pintu, terdorong cukup jauh ke dalam. Sekian langkah baru saya capai pintu keluar.

Dalam perjalanan menuruni tangga.

’Emang biasanya begini ya Pak ?’ Tanya saya kepada bapak paruh baya sambil berjalan beriring.
‘Ini tadi kita dapat diskon 50%, maksudnya biasanya dua rangkaian delapan gerbong, tadi cuman satu rangkaian empat gerbong’ Jawabnya. ‘Tapi gak beda jauh deh meskipun dua rangkaian juga, teteup, empet-empetan’ Imbuhnya.

Kutengok atap kereta. Penuh orang-orang duduk santai. ‘Ah andai saya tadi naik ke situ, tentu tak perlu saya tahankan semua ‘penderitaan’ ini’ Rutukku. Apakah Anda pernah berpikir bahwa naik di atap kereta adalah perbuatan bodoh, tidak berpendidikan dan membahayakan diri sendiri ? Cobain dulu deh naik KRL Ekonomi Biasa, baru komentar. Anda juga baru akan tahu kenapa segala daya upaya– menyemprot dengan pewarna, menanam besi lancip atau mengolesi atap dengan oli - tidak pernah berhasil mencegah hal itu.

Perjalanan ini memakan waktu hampir dua jam. Selain badan remuk redam, tampilan saya, tentu saja acak adut tak karuan. Benar keputusan saya untuk pakai polo shirt saja. Sementara pakaian kerja saya simpan rapi dalam back pack. Tangan, wajah, rambut, kaos, celana hampir-hampir seperti habis diguyur hujan. Semua kuyup oleh keringat. Mampir toilet dulu ah ! Basuh-basuh, ganti baju, trus menuju ke kantor yang tidak seberapa jauh dari situ.

Kawan, apakah saya terlihat cengeng ketika menceritakan semua ini ? Seakan-akan ini adalah peristiwa istimewa hebat tak terlupakan, momen historis yang perlu dikenang sepanjang masa, yang karena sebegitu pentingnya hingga saya merasa perlu menuliskannya dalam blog ini ? Sementara ibu-ibu itu, bapak-bapak itu mengalaminya setiap hari, menjalaninya sebagai rutinitas dan menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Tak berlebihankah jika saya menyebut mereka orang-orang hebat, yang atas nama tanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga, setiap hari, ya setiap hari, bertahun-tahun, rela berpeluh, berdesakan, berjibaku, pagi berangkat kerja bertumpuk-tumpuk kaya ikan pindang, sore  pulang kerja 
berdempet-dempet kaya bandeng presto demi orang-orang yang dicintainya ?

Ada Apa dengan Toko Emas ?



        
Photo : Jewelsbox.co


            Cerita ini berasal dari kisah nyata seorang pembeli emas perhiasan di sebuah toko emas di sebuah pusat perbelanjaan, jika dari arah pintu tol Cibinong (Jagorawi), sebelah kiri, tidak seberapa jauh sebelum Pasar Cibinong. Sebut saja ia Investor Emas (IE) dan tokonya Toko Emas (TE). 

          Secara garis besar kisahnya adalah kekesalannya atas penentuan harga emas perhiasannya, yang ia nilai sepihak dan tidak masuk akal, saat ia hendak menjualnya kembali ke toko emas langganannya, setelah ia simpan bebeberapa lama. Namun anehnya saat ia menjual emas yang lain yang ia beli di sebuah kota nun di sebuah kota di Sumatera sana, hal serupa tidak terjadi.
IE : Berani beli berapa emas saya, Koh (22 karat, berat sekian gram) ?
TE : Rp. 170 ribu/gram Bos
IE : Walah, murah sekali Koh. Gimana tuh ngitungnya ? Harga emas 22 karat hari ini saja sudah Rp. 250 ribu per gramnya. Masak selisih harag jual dan beli 28% ? Yang bener aja Bro. 
IE sempat survey dulu, dengan berpura-pura mau beli emas, di toko itu sebelumnya, jadi dia tahu persis harga hari itu.
TE : Itu harga belum ditawar Bos, apalagi Bos khan dulu belinya cuman Rp. 140 ribu per gramnya. Tuh ada di suratnya.
IE : Lho apa hubungannya dulu saya beli berapa dengan sekarang dibeli berapa. Mestinya lu hargai emas saya sesuai harga hari ini. Kalau memang dikurangi biaya bikin, silahkan. tapi ya gak sampai 28% lah. Enak aja. 
TE : Hitungannya emang gitu Bos. Toh Bos sudah untung khan ? Dulu beli Rp. 140 ribu/gram sekarang dibeli Rp. 170 ribu/gram ? Masih untung make lagi.
IE : Sok tahu lu untung make. Orang gelang ini nyaris gak pernah dipake.
TE : Udahlah Bos. Bos udah untung banyak nih. Baru pegang setahun udah untung sekian.
IE : Bukan begitu Koh. Hari ini aku juga bawa perhiasan yang lain. Di sebelah berani beli Rp. 224 ribu/gram dikurangi biaya bikin. Pertanyaannya : sama-sama emas 22 karat, sama-sama dijual hari ini kenapa harganya berbeda jauh hanya karena lihat di suratnya dulu belinya dengan harga berbeda.
IE kebetulan juga menjual perhiasannya yang lain di toko sebelah. Karena dulu beli Rp. 224 ribu/gram, maka toko tersebut menawarkan harga yang sama, Rp. 224 ribu/gram dikurangi ongkos bikin. IE memutuskan untuk batal melepas barangnya karena rugi. Ia akan menyimpannya dan menjualnya lagi suatu saat.

TE : Emang begitu Bos. Harus dilihat, dulu belinya berapa baru dihitung harganya.
IE : Gak masuk akal Koh. Trus kalo ada orang dateng ke sini mo jual emas jaman Majapahit ia dapat nemu dari kebun gimana ngitungnya. Pan lu gak bisa lihat harga belinya, orang dia dapat dari nemu.
TE : [TERDIAM AGAK LAMA, kemudian]Tapi Bos udah untung banyak lho. Bandingin sama HP. HP Bos yang dapet beli setahun lalu dijual hari ini sudah turun banyak harganya. Bahkan mungkin gak laku.
IE : Yaaah, makin lucu aja lu, Koh. Masa emas dibandingin ma HP. HP tahun 90an dijual sekarang gak ada yang mau beli. Tapi, jangankan emas tahun 90an, emas jaman Fir’aun pun laku dijual hari ini.
TE : [TERDIAM AGAK LAMA]
IE : Udahlah Koh. Saya minta harga gak tinggi-tinggi amat koq. Taruhlah harga jadi hari ini Rp. 240 ribu/per gram. Saya minta harga itu dikurangi biaya bikin 15 ribu/gram jadi Rp. 225 ribu per/gram. Gimana ?
TE : Wah berat Bos. Gak mungkin di atas Rp. 200 ribu/gram
Berkali-kali TE mesti nelpon bosnya (yang sedang tidak ditempat) menghadapi pelanggan ngeyel ini. Setelah ‘berkelahi’ selama hampir satu jam, hanya untuk menjual dua gelang dan satu cincin, akhirnya IE mendapat harga mendekati Rp. 200 ribu/gram. Rupanya TE lelah juga menghadapi pelanggan yang mau ‘bertempur’ seperti itu.

Sebulan kemudian saat Lebaran, IE pulang ke Dumai. Tak lupa ia bawa beberapa perhiasan yang ia beli di sana. Akan ia lego pula itu asset. Hah..!, ternyata guampang buaaanget jualnya. Gak perlu ‘berantem’, apalagi sampai sejam.
IE :Harga emas 22 karat hari ini berapa Da ? (Uda adalah panggilan setara Bang bagi laki-laki Sumatera Barat)’.
UDA :Rp. 235 ribu Om.
IE : Aku mau jual, berani beli berapa ?
UDA :Harga hari ini dikurangi biaya bikin 25 ribu. Jadi Rp. 210 ribu per gram
IE :Biaya bikin jangan banyak-banyak. Rp. 20 ribu aja ya. Jadi per gramnya Rp. 215 ribu.
UDA :Ok. Ini sekian gram jadi totalnya sekian-sekian.
IE serahkan barangnya. Si Uda serahkan duitnya. Beres ! Padahal perhiasan itu bukan dibeli di toko Si Uda, tapi toko sebelahnya yang masih tutup karena libur lebaran. Kebetulan ia juga dititipi perhiasan lain milik adik iparnya untuk dijual, setelah ia simpan selama empat tahun. Ternyata toko emas berani beli hampir dua kali lipat dari harga yang tertera di surat. Itu artinya nilai perhiasan tersebut tumbuh 100% selama empat tahun alias 25% per tahun. Jauh di atas rata-rata bunga deposito.

IE memang investor emas hardcore. Ia tahu betul ia tidak (belum) lihai terjun di dunia investasi sektor riil. Tapi ia juga gak mau didzalimi perbankan yang hanya memberikan hasil atas tabungannya sebesar 1-2 % per tahun dikurangi biaya administrasi dan pajak itu.

"Dengan hasil segitu sama saja saya bunuh diri di tiang gantungan inflasi" cetusnya. 

Yup, dengan tingkat inflasi VERSI RESMI yang rata-rata 11 % itu, kenaikan tabungannya tidak mampu mengejar kenaikan harga-harga. Kalau VERSI RIIL bahkan Anda sendiri bisa mengira-ira sendiri. Dalam setahun ini, beras yang anda beli, cabe, gula, minyak, susu, kontrakan rumah, harga mobil, motor adakah yang hanya naik 11 % ? Rasanya lebih dari itu !

Untuk itu ia melindungi nilai (value protection) assetnya dengan menyimpannya dalam bentuk emas. Sejauh ini dalam setahun tingkat kenaikan harganya selalu di atas tingkat inflasi. Akan lebih besar lagi kalau ia mau berlaku sebagai spekulan. Tapi ia tidak lakukan itu.

Pengalaman ‘pahit’ berantem dengan toko emas itu membuatnya ambil keputusan tidak akan lagi membeli perhiasan, kecuali sekadar yang cukup untuk dipakai istrinya. Atau kalaupun mesti beli perhiasan ia tidak akan pergi ke toko emas itu. Selain itu ia sudah punya pilihan lain. Beli logam mulia (gold bar) di PT. Logam Mulia atau koin emas dalam bentuk dinar di Gerai Dinar. Setiap hari harga beli dan jual di-declare. Jadi jelas.

Sejauh ini ia lebih memilih membeli dinar di Gerai Dinar.‘Gampang ngitung zakatnya’ kilahnya. Yups, tiap 40 keping dinar yang telah disimpan selama setahun ia sisihkan 1 keping (2,5%) untuk diserahkan ke lembaga zakat sebagai zakat mal. Praktis ! Memang ada plus minusnya gold bar versus dinar, jika dilihat dari aspek perpajakan, tingkat ke-likuid-an, kemudahan untuk dibagi, dsb. Tapi ia sudah memutuskan.

Sidang pembaca yang budiman, adakah yang juga memiliki kisah serupa, saat menghadapi toko emas yang ‘reseh’. Atau jika Anda pemilik toko emas, sebetulnya gimana sih mestinya Anda ngitung harga saat seseorang mau jual perhiasannya. Apakah seperti Si Koh, apa seperti Si Uda ?