|
Photo : devianart.com |
Saya mendapat cerita ini dari Bapak saya. Saya tidak mengenal pelakunya. Untuk kebenaran ceritanya wallaahu a'lam. Anggap saja ini cerita pengantar tidur.
Alkisah di masa lalu bapak memiliki sahabat, sebut saja namanya Pak Kerto. Beliau tinggal di suatu kampung di pedalaman bernama Sidorejo. Selain petani yang tekun, beliau juga seorang dalang. Kehebatannya mendalang terkenal di seantero wilayah kami.
Suatu hari, setelah seharian menggarap ladang, Pak Kerto bersiap pulang. Matahari mulai condong ke barat. Langit redup. Angin semilir mengusir panas tengah hari yang memecahkan kepala. Saat hendak beranjak, tiba-tiba berdiri di hadapannya seorang laki-laki. Entah dari mana dan kapan laki-laki itu datang. Dari penampakannya sepertinya sepantaran dengan Pak Kerto.
"Kulonuwun Pak Kerto. Saya Nyono dari Kampung Grumpil. Bisa bicara sebentar?" Laki-laki itu membuka percakapan.
"Ada perlu apa kisanak, mendatangiku di ladang. Apakah tidak sebaiknya kita ke rumah agar lebih nyaman berbincang ? " Menilik raut muka dan nada bicara, Pak Kerto merasa ada hal penting yang akan Nyono sampaikan. Untuk itu ia menawarkan berembug di rumah.
"Tidak perlu Pak Kerto. Di sini cukup" Nyono menolak halus.
Pak Kerto mengajak Nyono lesehan di pojok ladang, di bawah pohon sukun yang mulai berbunga. Nyono kemudian menyampaikan hajatnya. Kurang lebihnya, Kampung Grumpil sedang menyelenggarakan rangkaian acara adat desa. Puncaknya pada malam purnama ini dengan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, dalang yang seharusnya tampil tiba-tiba sakit. Nyono meminta Pak Kerto menggantikanya.
"We lha, nDalang itu butuh persiapan je. Gak bisa mendadak begini" Jawab Pak Kerto.
"Jangan khawatir Pak, karena ini cuma menggantikan, semuanya sudah siap. Panggung, wayang, gamelan, niyaga, sinden semua sudah siap" Nyono mencoba meyakinkan.
"Terus terang saya belum pernah dengar nama kampungmu. Seberapa jauh dari sini ?" Tanya Pak Kerto menyelidik. Sebetulnya Pak Kerto tidak berkenan dengan permintaan ini. Tapi sudah adatnya orang desa sulit untuk menolak terang-terangan. Pertanyaan ini hanya modus, kalau-kalau jawabannya bisa untuk berkelit dari permintaan ini.
"Jalan kaki 2 jam Pak. Gak ada cara lain kecuali jalan kaki. Tapi jangan khawatir. Kami siap membayar berapapun honor yang Bapak mau. Yang penting acara wayangan ini terselenggara agar kami tidak malu di hadapan warga kampung" Nyono mulai mendesak karena melihat gelagat penolakan Pak Kerto.
Wajah Pak Kerto semburat merah. Sepertinya ia tersinggung. Menyebut-nyebut bayaran adalah sesuatu yang tabu baginya. Apalagi menolak permintaan hanya karena bayaran yang tidak cocok. Itu lebih tabu lagi. Dan ia tidak mau dianggap seperti itu.
"Yoi wis, tapi saya perlu pamitan istri dan ambil baju mendalang dulu" Suara Pak Kerto meninggi. Bergegas ia melangkahkan kaki tanpa menunggu jawaban. Nyono mengikutinya dari belakang.
Langit barat semburat jingga. Dari ladang ke rumah Pak Kerto butuh waktu setengah jam. Menjelang rumah Pak Kerto, tiba-tiba Nyono bersuara.
"Pak Kerto, seperti yang saya sampaikan tadi, seluruh perlengkapan sudah disiapkan, termasuk kostum. Sebaiknya Pak Kerto pamitan dari luar rumah saja. Kalau masuk rumah pasti ujung-ujungnya mengerjakan yang lain-lain dulu. Nanti kita terlambat. Ini sudah surup *), Pertunjukan dimulai jam 8 malam, takut gak kekejar"
"Saya harus memulangkan cangkul dulu" Jawab Pak Kerto agak ketus.
Sampai di depan rumah Pak Kerto melempar cangkul dengan kasar ke halaman rumahnya yang luas sambil berteriak kepada istrinya "Nyi, saya pergi dulu. Ada yang nanggap malam ini"
"Sekarang unjukin saya jalannya" Perintah Pak Kerto. Nyono segera beralih ke depan.
Perjalanan malam itu benar-benar asing bagi Pak Kerto. Ia sama sekali tidak mengenali arah jalan. Nyono juga tidak banyak cakap. Beruntung bulan purnama di langit menerangi perjalanan. Apalagi jalan yang dilalui cukup lebar dan rata.
Singkat cerita pertunjukan malam itu lancar jaya. Warga Kampung Grumpil mengelu-elukan Pak Kerto. Saat adegan goro-goro penonton terbahak-bahak mendengar lawakan para punakawan. Demikian pula saat adegan Limbuk dan Cangik. Saat adegan perang penonton bertepuk tangan riuh dan bersuit-suit. Salah satu kelebihan Pak Kerto memang di sabetan. Saat adegan perang, ia mampu memainkan 3 wayang sekaligus seperti juggling.
Pertunjukan berakhir jam 5 pagi. Beres berganti pakaian Pak Kerto didatangi Nyono yang membawa segepok uang. Pak Kerto terkesiap. Seumur-umur mendalang belum pernah ia dibayar sebanyak itu.
"Matur nuwun Pak Kerto, sudah menghibur kami malam ini. Titip sedikit buat anak istri Bapak di rumah" Nyono berbasa-basi sambil menyusupkan uang tersebut ke kantong celana Pak Kerto.
"Nggih sami-sami Pak Nyono " Jawab Pak Kerto sumringah.
Segera Nyono mengantar Pak Kerto pulang. Kali ini Nyono hanya bersedia mengantar sampai batas desa, karena harus membantu membereskan sisa-sisa pertunjukan semalam, katanya. Pak Kerto tidak keberatan. Kantong celananya yang menggumpal sudah cukup baginya untuk memaklumi apapun yang dikatakan Nyono.
Di batas desa Nyono mengucapakan kata perpisahan dan terima kasih sekali lagi. Pak Kerto melanjutkan perjalanan. Beberapa langkah berjalan, Pak Kerto tergoda menengok ke belakang. Warakadah ..... Nyono tak lagi terlihat. Jalan yang semula lapang dan rata itupun raib entah kemana. Yang terlihat hanya hutan lebat yang seolah belum terjamah manusia.
"Lha dalah, wedhus ki" Pak Kerto mengumpat dalam hati. Dia mulai menyadari ada yang tidak beres. Namun tak terbersit sedikitpun rasa takut. Dalang tidak pernah gentar dengan hal-hal beginian. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanyalah bagaimana mencari jalan pulang agar cepat sampai rumah. Namun ia ragu bertanya jika bertemu orang.
"Ntar kalau yang ditanya ternyata sejenis si wedhus Nyono, malah saya disesatkan lagi" Batinnya masih jengkel.
Susah payah ia menerka-nerka arah. Jalan yang semalam lebar dan lapang tidak lagi terlihat. Berganti jalan berbatu, berlumpur naik dan turun laren *). Di beberapa tempat ia mentok di jalan buntu sehingga harus memintas melintasi ladang dan kebun orang. Menjelang waktu Isya, akhirnya ia sampai di batas Kampung Sidorejo. Aneh, jarak yang semalam ditempuh dalam 2 jam itu sekarang butuh waktu sehari penuh. Hatinya mulai tenang. Langkahnya mulai pelan. Selain kelelahan ia juga tidak lagi merasa perlu tergesa sampai rumah.
Sekira habis Isya sampailah ia di depan rumahnya. Yang membuat ia heran, rumahnya terang-benderang. Lampu petromak, lampu yang hanya dinyalakan saat hajatan itu, dipasang di beranda dan ruang depan. Dari dalam rumah terdengar orang ramai membaca tahlilan, kegiatan yang digelar jika ada anggota keluarga meninggal. Istriku ? ... anakku ?... jantungnya berdegup kencang. Setengah berlari ia menghambur ke dalam rumah dan bertanya "Sinten sing seda (siapa yang meninggal)? "
Tiba-tiba kejadian yang tidak ia duga terjadi. Peserta tahlilan lari berhamburan menyingkir. Ibu-ibu berteriak histeris. Tinggal ia sendirian di tengah ruangan, berdiri termangu tidak paham apa yang terjadi. Beberapa saat tidak ada yang bersuara. Bahkan istrinya hanya berani mengintip dari balik pintu dengan perasaan tidak karuan.
Tiba-tiba, Bardo, adiknya yang menjadi kyai di kampung sebelah, dan pemimpin tahlilan malam itu, berjalan perlahan mendekatinya.
"Ini Kang Kerto ?" Tanyanya. Tangannya menunjuk Pak Kerto. Keraguan yang dalam terlihat dari sorot matanya.
"Lha iya tho Bar. Sopo maneh (Ya iyalah Bar. Siapa lagi)" Jawab Pak Kerto berusaha meyakinkan Bardo.
Akhirnya mereka berdua duduk untuk menjernihkan persoalan. Peserta tahlilan yang semula menjauh mulai merapat kembali.
Bardo lalu bercerita bahwa tahlilan malam itu adalah tahlilan 40 hari meninggalnya Pak Kerto. Diceritakan pula bahwa 40 hari yang lalu, saat waktu Maghrib istri Pak Kerto mendengar suaminya memanggilnya dari luar rumah. Tapi saat dibukakan pintu yang ada hanyalah jasad suaminya yang terbujur kaku di halaman dalam keadaan meninggal. Maka oleh warga dimakamkanlah jenazah itu serta diselenggarakan rangkaian ritual yang menyertainya termasuk tahlilan pada malam itu.
Pak Kerto keheranan. "Wis, wis pada gendeng kabeh. Aku pergi cuman sehari semalam, kenapa kalian bilang 40 hari ?" Pak Kerto ngedumel sambil geleng-geleng kepala.
Lalu ia bersumpah pada hadirin bahwa ia masih hidup, dan yang ada di hadapan mereka benar-benar Kerto, warga Kampung Sidorejo yang jago dalang itu. Lalu ia gantian menceritakan kejadian yang dialaminya.
Yakin itu suaminya, sang istri yang sedari tadi hanya menguping dari balik pintu, berlari memeluk Pak Kerto sambil menangis tersedu-sedu. Tak henti-hentinya ia mengucapkan syukur. Pak Kerto segera merogoh saku hendak menyerahkan uang hasil mendalang kepada istrinya. Namun ia terkejut. Tidak ada uang segepok di kantongnya. Yang ada hanya segepok daun diikat akar pohon.
"Trus yang kita makamkan saat itu siapa?" seorang warga berteriak dari tengah kerumunan. Riuh warga menimpali ucapan itu. Semua keheranan.
"Ya sudah, kita bongkar makam, malam ini juga" Ujar Bardo.
Meski waktu sudah menunjukkan hampir jam 9 malam, warga tetap berangkat ke makam. Semua shock saat melihat isi 'kuburan Pak Kerto' yang mereka bongkar. Cangkul Pak Kerto yang dilempar malam-malam itu terbujur tenang di liang lahat, dengan kain kafan yang masih rapi membungkusnya. Pak Kerto tidak mau mengambilnya lagi. Warga menaruhnya di pojok makam, siapa tahu penggali kubur dapat memanfaatkannya.
"Nyono ki cen wedhus tenan. Ngerjain orang gak kira-kira. Orang sekampung dikibulin" Kutuk Pak Kerto dalam perjalanan pulang.
Hari-hari kemudian Pak Kerto merasa istrinya lebih menyayanginya. Apapun perkataanya selalu dituruti dan apapun larangannya selalu dijauhi. Ia juga terlihat lebih hormat kepada suami. "Mungkin ia baru sadar gak enaknya ditinggal suami, meskipun hanya 40 hari, he..he..he." Pak Kerto membatin sambil senyum-senyum sendiri.
"Ternyata ada gunanya juga kowe Nyono. Tapi awas jangan coba-coba nge-prank yang kedua kalinya kalau gak ingin saya kepruk pacul. Dan ingat, kamu masih berhutang honor ndalang satu malam" Pak Kerto ndremimil di tengah ladang seakan ada Nyono di dekatnya. Sejenak kemudian senyumnya merekah melihat tanaman jagung yang sebulan lagi panen. Tak berlama-lama ia lanjutkan lagi kegiatannya yang tertunda, menyiangi rumput yang mulai meninggi.
*) Surup : Saat-saat menjelang Maghrib. Waktu yang dipercaya saat itu makhluk dari alam lain sedang berkeliaran. Di kampung, orang tua akan menyuruh anak-anaknya masuk rumah pada jam-jam tersebut.
*) Laren : jurang kecil dan dangkal