Ngarai Sianok
Qadarullah , pilihan pertama dan kedua saya tidak terpilih. Dua kota itu ternyata cukup populer. Jumlah pemilih melebihi kuota. Setelah diurutkan berdasarkan IPK saya tersingkir. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saya mendapat penempatan sesuai pilihan ketiga ; Padang.
Majalah
Jaya Baya adalah majalah mingguan berbahasa Jawa yang didirikan
oleh Tadjib Ermadi, seorang mantan guru Taman Siswa Yogyakarta pada
1945. Pada awalnya dewan redaksi berkantor di Kediri, kemudian pindah ke
Surabaya. Pada jamannya, majalah ini menjadi salah satu majalah berbahasa Jawa paling populer selain Panyebar Semangat (Surabaya) dan Djaka Lodang
(Yogyakarta).
Sejak SD saya
rutin membacanya tiap kali terbit. Dalam salah satu beritanya berkisah
tentang Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito - sekarang
Hamengkubuwono X - bersama istri, plesiran ke Bukittinggi, Sumatera
Barat. Berdua beliau berpose di atas tebing Ngarai Sianok. Menatap
pemandangan elok di seberang sana. Sungguh menakjubkan.
Majalah Jaya Baya |
Saat
itu sejauh-jauh saya pergi hanyalah ke Semarang. Ibu
kota Jawa Tengah yang berjarak 132 km dari rumah saya di Klaten. Itupun
hanya sekali. Selebihnya hanyalah ke Kota Klaten yang berjarak 15 km
dari rumah. Melihat foto BRM Herjuno Darpito bersama istri,
terbetik keinginan dalam hati 'Suatu saat saya akan ke Bukittinggi'.
Time flies, waktu
berjalan cepat. Tak terasa selesai sudah kuliah kedinasan saya. Untuk penempatan
seluruh lulusan diminta membuat 3 pilihan kota. Saya memilih Yogjakarta
dan Mataram. Pilihan ketiga ? Saya kosongkan. Maksudnya ? Saya hanya
mau di dua kota tersebut. Selainnya tidak mau. Titik !
Lembar
pilihan dikumpulkan, lalu seorang teman menanyakan pilihan saya. Saya
jawab apa adanya. "Hati-hati Wan, kalau pilihan ketiga dikosongkan nanti
dipahami kemana saja mau. Gimana kalo ntar ditempatkan di Jayapura ?" Gubraaak ! Bener juga. Maksud saya
kemana-mana gak mau bisa dipahami kemana-mana mau. Segera saya tarik
kembali kertas saya. Setelah berfikir sejenak saya pilih Padang untuk
pilihan ketiga. Ini adalah pilihan terpaksa.
Qadarullah , pilihan pertama dan kedua saya tidak terpilih. Dua kota itu ternyata cukup populer. Jumlah pemilih melebihi kuota. Setelah diurutkan berdasarkan IPK saya tersingkir. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saya mendapat penempatan sesuai pilihan ketiga ; Padang.
Sekian
bulan di Padang beberapa teman dari kantor pusat datang berkunjung dalam rangka dinas. Pada akhir minggu mereka meminta saya menemaninya berwisata ke Bukittingi. Padang dengan Bukittinggi ibarat Jakarta
dengan Puncak. Pada akhir minggu banyak warga Padang berwisata ke
tempat-tempat tujuan wisata yang banyak terdapat di sana.
Tujuan
wisata paling populer adalah Ngarai Sianok. Obyek wisata ini sering
dipakai sebagai inspirasi oleh banyak pelukis. Diantaranya Basuki
Abdullah. Juga pernah dipakai sebagai gambar uang kertas Rp. 1000
keluaran 1980.
Lalu
yang terjadi terjadilah. Saya berpose di atas teping menatap pemandangan elok di seberang sana. Sungguh menakjubkan.
Deg .... saya tertegun. De javu.
Saya merasa pernah berada dalam situasi ini. Entah kapan. benar-benar
tidak asing.Ya..ya..ya.. saya ingat. Saya pernah menginginkannya sekian belas tahun
yang lalu saat membaca Majalah Jaya Baya. Dan terwujud saat saya sudah melupakannya. Bahkan tanpa saya
mengusahakannya. Allahu Akbar !
Kereta Lintas Eropa
Gare Cornavin, Stasiun Utama Kota Jenewa |
Waktu SD salah satu kegemaran saya adalah bongkar-bongkar koleksi buku orang tua. Jangan dibayangkan seperti perpustakaan, Ini lebih seperti buku bekas, kertas kerja, tugas sekolah dan kuliah, skripsi dan dokumen-dokumen lain, yang disimpan bukan karena bermanfaat, tapi hanya belum sempat membuangnya saja. "Kenapa disimpan Bu ?" Tanya saya suatu kali. "Untuk pengingat perjuangan bapakmu dalam meraih pendidikan yang lebih baik" Jawab ibu. Walaupun begitu, beberapa diantaranya bukan kaleng-kaleng. Misalnya 5 jilid buku koleksi lukisan Bung Karno setebal bantal, Buku Di Bawah Bendera Revolusi yang 699 halamannya tuntas saya baca saat SMP. Para pengamat menyebut buku ini sebagai masterpiece alias karya terbaik Bung Karno.
Ada juga sebuah novel terjemahan. Di salah satu adegannya mengisahkan kejadian saat kereta lintas Eropa diserbu gerombolan begal. Saat itu kereta berada di jalur rel yang lebih rendah dari permukaan tanah sekitarnya. Gerombolan pencoleng itu mengintai di talud sisi rel, meloncat ke atap kereta, merayap masuk gerbong dan menggasak bawaan penumpang. Betapa melekatnya adegan itu di benak saya hingga timbul rasa penasaran saya "Seperti apa sih rasanya naik kereta seperti itu ?"
Tunas-tunas pohon menjelma menjadi ranting dan daun. Tumbuh, menua, menguning kemudian rontok. Terurai menjadi pupuk penyubur inangnya. Memicu tunas-tunas baru. Siklus terus berulang, waktu terus berjalan. Hari berganti hari, tahun berganti tahun.
15 September 2012. Pagi-pagi buta, saya bersama dua teman sudah nongkrong di Gare Cornavin, stasiun kereta utama di kota Jenewa, Swiss. Menunggu kereta TGV yang akan mengantar kami ke Paris, Perancis. Tepat jam 06.29, kereta berangkat sesuai jadwal. Akurat hingga menitnya. Tidak butuh waktu lama untuk keluar dari padatnya Jenewa. Beberapa menit kemudian kereta sudah melintas di ketinggian bukit di sisi Danau Jenewa. Sungguh sebuah suasana yang dramatis. Ular besi itu seakan meliuk-liuk di atas awan. Lalu lahan pertanian yang panjang, ditingkahi lenguh sapi-sapi perah bercengkerama dengan rerumputan. Lalu ....... ruas jalur rel yang lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya. Talud di sisi kiri dan kanan melampaui tinggi kereta.
Deg .... saya tertegun. De javu. Saya merasa pernah berada dalam situasi ini. Entah kapan. Benar-benar tidak asing. Menyeruak sedikit rasa cemas. Gimana jadinya kalau ada orang jahat, meloncat dari talud, hinggap di atap kereta, merayap masuk dan merampas harta penumpang ?
Beberapa saat kecemasan melingkupi benak saya. Sementara dua teman saya asyik bercengkerama, tidak menyadari kegelisahan saya. Tiba-tiba saya tersadar, tercerabut dari suasana deja vu. Lalu saya ingat, bukankah saya pernah memikirkan situasi ini ? Bukankah saya pernah menginginkan berada dalam kereta seperti ini ?
Novel itu. Ya apa yang saya inginkan saat membaca novel itu menjadi kenyataan saat saya sudah melupakannya. Menjadi kenyataan tanpa saya melakukan hal-hal untuk mewujudkannya. Allahu Akbar !
Lessons Learned
Pelajaran yang bisa diambil dari kejadian di atas adalah ...Hati-hati dengan keinginanmu ! Ia bisa mencari jalannya sendiri untuk mewujud. Bahkan ketika kamu sudah melupakannya. Bahkan ketika kamu tidak melakukan hal-hal untuk mewujudkannya. Sering terjadi keinginanmu menuntunmu kepada hal-hal yang berpotensi mewujudkannya, meski kadang-kadang tidak berhubungan langsung, meski kadang-kadang tidak kamu sadari.
Periksa kembali seluruh keinginamu dan cermati. Buang jauh-jauh yang buruk meskipun kamu menyukainya. Karena ia akan menjadi masalah besar jika tiba-tiba mewujud saat kamu tidak siap menerimanya. Saat kamu tidak mampu menolaknya.
Peluk erat-erat yang baik meskipun kamu belum tahu cara mewujudkannya. Karena ia akan menjadi anugerah besar bagimu, jika tiba-tiba mewujud saat kamu sangat membutuhkannya. Bahkan seumpamapun tidak mewujud maka itu tetap kebaikan. Dengan memenuhi benakmu dengan keinginan-keinginan baik akan tidak tersisa ruang bagi keinginan-keinginan tidak baik untuk bersemayam.
Tabik !