Selasa, 27 Oktober 2020

Investasi Bodong, Masihkah Akan Berulang?

Photo : www.pixabay.com

Tulisan saya ini dimuat di neraca.co.id tanggal 10 Februari 2020.  Saya tulis kembali di sini - dengan beberapa perbaikan- agar lebih banyak orang bisa memetik manfaatnya. Tulisan di neraca.co.id bisa dibaca di link ini

Seorang teman berseloroh “Di Indonesia, jangankan investasi bodong, kerajaan bodong saja banyak pengikutnya”. Sebuah kalimat satire yang jika direnungkan ada benarnya juga.

Hari-hari ini masih hangat berita tentang investasi bodong MeMiles. Sebuah penipuan investasi, yang dalam tempo enam bulan berhasil menarik 264 ribu nasabah dan mengumpulkan dana hingga Rp. 750 milyar, sebelum akhirnya terbukti merupakan aksi tipu-tipu dengan skema Ponzi ; reward yang diterima nasabah berasal dari setoran nasabah berikutnya.

MeMiles hanya salah satu kasus, dari sekian banyak kasus penipuan investasi, bisnis dan MLM bodong di Indonesia. Kasus lainnya sebut saja Arisan MMM, Pandawa Group, investasi Intan Haji Lihan, Dimas Kanjeng, Kampoeng Kurma, Properti Syariah, Jabon, First Travel, United Swissindo dan lain-lain.

Kerugian masyarakat akibat penipuan tersebut cukup besar. Otoritas Jasa keuangan (OJK) mencatat dalam rentang 2008 – 2018, kerugian masyarakat mencapai 88,8 trilyun. Tentu saja ini hanya yang terpantau dan tercatat. Sepanjang interaksi penulis dengan para korban, utamanya di pedesaan, mayoritas mereka tidak memperpanjang urusan dengan, misalnya, menempuh jalur hukum. Mereka khawatir kerugian justru akan bertambah, karena proses hukum butuh biaya. Sementara dana belum tentu kembali. Yang demikian pasti tidak terpantau dan tercatat oleh otoritas.

Selain bentuk dan skema investasi yang semakin beragam, pelaku juga semakin kreatif dalam menjerat korban. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pada Mei 2016 Kaspersky Lab dan B2B Internasional merilis hasil penelitian yang menyebutkan 26 persen konsumen Indonesia kehilangan uang akibat penipuan daring (online). Hal itu menjadikan Indonesia menjadi negara dengan korban penipuan daring tertinggi di dunia, diikuti oleh Vietnam (25 persen) dan India (24 persen).

Pertanyaannya kemudian, mengapa sebagian masyarakat begitu gampang tergiur dengan iming-iming investasi yang, bagi yang berfikir normal, tidak masuk akal ? 

Faktor pertama patut diduga adalah ketamakan (greedy). Sebagai contoh MeMiles menawarkan reward berupa Mobil Fortuner hanya dengan menyetor uang sebesar Rp. 8,4 juta. Sebagian dari korban bukan mereka yang kekurangan secara materi. Dia mampu membeli mobil tersebut dengan uang sendiri, tapi tentu tidak seharga 8,4 juta. Didorong oleh sifat tamaknya, mereka yang sudah berkelimpahan materi ingin mendapatkan lebih banyak lagi dengan cara gampang. Bahkan rata-rata mereka berpendidikan cukup, dan tidak gagap teknologi. Jika mau, ia dengan gampang dapat mengakses informasi tentang mana investasi yang legal dan yang tidak. Tetapi ketamakan telah menjauhkan mereka dari melakukan itu.

Erich Fromm (1900 - 1980), seorang filsuf humanis, psikoanalis, dan psikolog sosial- mendefinisikan ketamakan sebagai suatu jurang tanpa dasar yang menguras energi seseorang dalam upaya tanpa henti untuk memenuhi satu kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan. Termasuk di dalam ketamakan adalah egoisme.

Faktor kedua adalah ketidaktahuan. Hal ini terutama terjadi pada korban di daerah pedesaan. Banyak pelaku menyasar mereka dengan pertimbangan pendidikan mereka yang rendah, keterbatasan akses informasi dan keterbatasan akses bantuan hukum. 

Penulis mengalami sendiri betapa sulitnya menjelaskan kepada mereka bahwa investasi yang mereka ikuti, selain ilegal juga bodong. Dus alih-alih untung, yang ada malah buntung. Harapan yang melambung menutup mata dan telinga mereka dari penjelasan. Saat bangunan skema Ponzi runtuh mereka hanya bisa pasrah tak berdaya. 
 
Cerita akhirnya bisa ditebak : terlepas apakah pelaku diproses hukum atau tidak yang sudah pasti adalah uang mereka tidak kembali. Korban tipe kedua ini bisa jadi tidak kalah banyaknya dengan korban tipe pertama.

Enough is enough. Sudah saatnya pemerintah bersama-sama masyarakat menghentikan semua ini. Secara struktural pemerintah telah memiliki perangkat yang bertanggung jawab atas hal ini, yaitu OJK. Sebuah institusi yang memiliki visi menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Dalam upaya memaksimalkan perlindungan konsumen dan masyarakat OJK membentuk Satgas Waspada Investasi yang merupakan kolaborasi antara tujuh instansi yaitu OJK, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Pada 2019 OJK telah menghentikan 444 entitas investasi bodong, meliputi perdagangan valuta asing tanpa izin, investasi money game, equity crowdfunding ilegal, multilevel marketing tanpa izin, perdagangan kebun kurma, investasi properti, penawaran investasi tabungan, penawaran umrah, investasi cryptocurrency tanpa izin, dan koperasi tanpa izin.Angka ini terus meningkat dari yang 2018 sebanyak 108, dan tahun 2017 sebanyak 80.

OJK secara terus menerus melakukan edukasi kepada masyarakat baik online maupun offline. Di website-nya OJK menyediakan daftar perusahaan invetasi maupun fintech, baik yang berijin maupun tidak, sebagai referensi bagi nasabah saat akan menginvestasikan uangnya.

Namun demikian, bagi mereka yang tamak, seberapapun lengkap dan jelasnya informasi yang disediakan OJK, sepertinya mereka tidak akan mengacuhkan. Bahkan, tahukah Anda beberapa orang yang paham skema Ponzi, sengaja mengambil keuntungan dengan strategi hit and run ; saat ia yakin investasi tersebut masih dalam periode awal ia bergabung dan segera keluar saat sudah mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, ia dengan sadar mengambil keuntungan dari kerugian nasabah berikutnya. Dan bagi mereka yang punya keterbatasan akses informasi, seberapapun lengkap dan jelasnya informasi yang disediakan OJK mereka tidak bisa memanfaatkan itu.

Penulis berpendapat perlu ada pendekatan baru dalam memerangi investasi bodong. OJK perlu ‘beroperasi secara teritorial’ ; menjalin kerjasama dengan struktur pemerintahan hingga level terendah yaitu Rukun Tetangga (RT). Kepengurusan RT berikut jajarannya beserta warganya diberdayakan sebagai ujung tombak edukasi masyarakat sekaligus ‘mata dan kuping’ OJK. Dengan ini diharapkan, jika ada aktifitas yang patut diduga investasi bodong dapat dideteksi lebih dini sebelum memakan korban lebih banyak. 

Kaki tangan penjahat investasi itu sering menjaring korbannya dengan bergerilnya dari pintu ke pintu, dari gang ke gang, dari tempat nongkrong satu ke tempat nongkrong lainnya, maka ia perlu dihadapi di ‘medan perang’ yang sama. Dengan ini, dalam jangka pendek diharapkan gerak penjahat investasi dapat dibatasi. Dan dalam jangka panjang diharapkan akan terbentuk masyarakat yang sadar investasi legal sekaligus waspada investasi bodong, yang pro aktif melaporkan setiap kali ada dugaan investasi bermasalah.

Penegakan hukum yang tegas dan proses hukum yang transparan wajib terus dilakukan dan digaungkan untuk menyampaikan pesan kepada siapapun yang memiliki niat jahat dalam investasi, bahwa pemerintah siap dan selalu hadir untuk melindungi konsumen dan masyarakat.

Pada akhirnya, calon investor, siapapun dia, perlu memegang prinsip dalam dunia investasi bahwa “too good is not good”. Jika pengelola menjanjikan return yang fantastis kemungkinan besar investasi yang ditawarkannya bodong. 

Setor Rp. 8,4 juta dapat Fortuner ? Fix, bodong !

His Excellency, Mr. President


Photo : Bersama Michael D. Higgins (Koleksi pribadi)

Takdir pernah membawa saya beberapa kali ke negeri jauh ; Swiss. Salah satunya pada  23 sd 28 November 2015. Kunjungan itu untuk menghadiri tiga kegiatan sekaligus yaitu 10th UNCTAD Debt Management Conference,  DMFAS Advisory Group Meeting, serta WADMO Meeting di Jenewa. *)

Salah satu keynote speaker dalam acara tersebut adalah Presiden Irlandia, Michael D. Higgins. Dia membawakan makalah berjudul Issues of Debt Management in the New Context of the Sustainable Development Goals and the Universal Challenge of Climate Change. Naskah bisa dibaca di sini.

Di hadapan perwakilan lebih dari 100 negara ia terlihat mumpuni menguasai panggung. Diksi tertata rapi, rima, irama dan intonasi terjaga dari awal hingga akhir. 

Kolega saya, Ibu Anni Valentina Lubis dari Bank Indonesia membisiki saya. “Selain Presiden, dia juga seorang penyair. Februari kemaren ia baru merilis puisi terbarunya; The Prophets are Weeping.”  

Singkat cerita, presentasi sekitar 30 menit itu diselesaikannya dengan apik.

Photo : UNCTAD pada Flickr.com

Tiba-tiba Ibu Anni menghampiriku,“Pak Surawan, ayo kita foto sama Pak Presiden”. Whats ?! Hal yang tak terpikirkan oleh saya itu diucapkannya dengan ringan. Tiba-tiba lampu neon menyala di kepalaku. Cling ! Hmm … kenapa tidak. Lets go Bu Anni …!

Lalu kami menghambur ke belakang panggung, tempat Pak Presiden istirahat sejenak. Di ruangan kecil dengan tempelan kertas bertuliskan ‘Ireland Delegations’ terlihat dua ‘Paspampres’ berjaga di kiri kanan pintu. Saya buka sedikit pintunya. Saya longokkan kepala. Terlihat Pak Presiden berbincang santai dengan beberapa orang. Mungkin orang-orang kedutaan besar dan tokoh-tokoh Irlandia di Swiss. 

Photo :  Delegasi Kementerian Keuangan RI (Koleksi pribadi)

Saya sedikit heran. Pertemuan presidennya kami longok-longok sedemikian, kedua pengawal itu santai saja.  Terlihat mereka tidak keberatan dengan tingkah kami. Benar-benar pengawal yang asyik. Ane suka gaya ente Guys !

Lalu datanglah seorang ‘madame’. Dengan wajah yang bersahabat, ia bertanya “Ada yang bisa saya bantu ?”

“Kami dari Indonesia. Kami fans presiden Anda. Kami menyukai puisi-puisinya. Bolehkah kami berfoto dengannya ?” Tanya kami.

“Kenapa tidak. Tentu saja boleh” Jawabnya, dengan keramahan tingkat dewa. Spontan saya berpikir ia pasti sekretaris pribadi Pak Presiden. 

”Tunggu sebentar ya. Palingan lima menit lagi mereka selesai. Sekalian, sini kameranya. Biar saya saja yang fotoin”  Lanjutnya. Wow,  Anda bener-bener baik hati, Madame. 

Tidak pakai lama pintu terbuka. Pak Presiden dan Ibu Negara melangkah keluar. Si Madame segera mendekat. 

“Pak Presiden ini ada penggemar Anda dari Indonesia. Mereka ingin berfoto dengan Anda” ujarnya.

“Ayuk, mari-mari” Ajaknya dengan ramah.

Photo : Palais des Nations (koleksi pribadi)

Bu Anni mendapat giliran pertama. Jepret, jepret. Beberapa gambar diambil. Selesai 

Lalu giliran saya. Saya mendekat, saya jabat tangan Pak Presiden dengan erat. 

“Saya Surawan, dari Indonesia. Saya menyukai puisi Anda”  Saya memperkenalkan diri sekaligus berbasa-basi. 
 
“Terima kasih”  Jawab Pak Presiden dengan wajah berbinar. 

Sst..padahal, bahkan, belum satu katapun dari puisinya yang saya baca. Boro-boro baca, bahkan puisinya yang mana saya juga tidak tahu. Saya cuman beruntung dapat clue sebelumnya dari Bu Anni. Thanks Bu Anni. He..he..

Lalu saya jajari dia, eksyen sedikit, jepret, jepret. Beberapa gambar diambil. Selesai. Go raibh mile maith agat, Pak Presiden *)

Penasaran, sore harinya, di hotel, saya todong Mbah Google untuk bercerita siapa sih ini orang. Dan inilah sekelumit profilnya. 

Michael D Higgins, lahir 18 April 1941. Politisi Partai Buruh Irlandia. Dilantik menjadi presiden Irlandia pada 2011 sebagai presiden ke-9 menggantikan Mary Mc Aleese, untuk masa jabatan hingga 2018. 

Photo : koleksi pribadi

Rakyat Irlandia mengenal Higgins sebagai sosok penentang perang Irak. Dirinya pun menarik perhatian ketika memprotes kedatangan mantan Presiden AS Ronald Reagan pada 1987. Higgins juga melakukan protes terhadap embargo laut yang diterapkan Israel di wilayah Gaza. 

Nyalinya terbukti jauh lebih tinggi dibanding tubuhnya. Tingginya hanya 160 cm. Termasuk mungil untuk ukuran pria Eropa  Ia merupakan pemimpin negara terpendek kedua setelah Yasser Arafat (157 cm). 
 
Pada September 2017 jagad twitter Irlandia digegerkan dengan salah satu cuitan yang menunjukkan betapa mungilnya presiden mereka. Saat itu Higgins menghadiri pertandingan final hurling pada  GAA Hurling All-Ireland Senior Championship di Dublin. Berdiri berdampingan dengan rekannya sesama politisi, Leo Varadkar yang bertinggi tubuh 195 cm, Higgins terlihat mirip kurcaci. 



Ia sosok yang populer di negaranya, terutama karena sikap egaliternya. Pada suatu moment, ia kedapatan ikut mengantri di ATM, di Baggot Street, Dublin, layaknya warga biasa. Dia menunggu dengan sabar pengguna di depannya menyelesaikan keperluannya. Di ranah publik ia tidak merasa perlu diistimewakan.  

Photo : Higgins menunggu giliran di ATM dengan tertib

Jauh sebelum menjadi presiden, ia adalah seorang penyair. Selalu menyematkan inisial M.D.H yang merupakan singkatan namanya, ia sudah menghasilkan empat buku puisi, yaitu : The Betrayal (1990), The Season of Fire in (1993), An Arid Season (2004) dan New and Selected Poems (2011).

Pada Februari 2015 ia mempublikasikan puisinya yang berjudul The Prophets are Weeping (Para Nabipun Tersedu-sedan) yang merefleksikan kegelisahannya atas kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi dan  - kadang -  si pelaku mengatasnamakan agama untuk tindakannya. Puisi ini sudah selesai pada tahun 2014, jauh sebelum tragedi Charlie Hebdo di Paris terjadi.

Ini puisinya. Tenyata benar, saya menyukainya. 


The Prophets are weeping
To those on the road it is reported that
The Prophets are weeping,
At the abuse
Of their words,
Scattered to sow an evil seed.
Rumour has it that.

The Prophets are weeping,
At their texts distorted,
The death and destruction,
Imposed in their name.
The sun burns down,
On the children who are crying,
On the long journeys repeated,
Their questions not answered.
Mothers and Fathers hide their faces,
Unable to explain,
Why they must endlessly,
No end in sight,
Move for shelter,
for food, for safety, for hope.

The Prophets are weeping,
For the words that have been stolen,
From texts that once offered,
To reveal in ancient times,
A shared space,
Of love and care,
Above all for the stranger.


MDH 2014


*)
UNCTAD: United Nations Conference on Trade and Development
DMFAS: Debt Management and Financial Analysis System
WADMO: World Association of Debt Management Office 
Go raibh mile maith agat (Irlandia) : terima kasih banyak

Sabtu, 24 Oktober 2020

PKI Ndasmu !

Foto: roblang.photoshelter.com

Suatu pagi di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, tahun 1975. Adik saya yang berusia 2 tahun, berada di gendongan Ibu. Sementara saya yang 5 tahun, menggelendot manja di gandengan tangan.  Bertiga, kami berjalan santai sepulang membeli bubur di warung langganan kami, warung Lik Madiyo. 

Tiba-tiba sayup-sayup jauh di belakang terdengar gemeruduk suara  kaki beradu dengan aspal. Sepertinya banyak orang berjalan bergegas-gegas. Suasana yang lengang mendadak gemuruh, penuh teriakan. Umpatan dan cacian bersaut-sautan diikuti suara rintihan dan tangisan.  

"Jangan nengok-nengok !" Ibu menghardik dengan gusar, saat tahu saya  berusaha melihat ke belakang. Ibu berjalan cepat. Kaki saya yang mungil susah payah mengimbangi langkahnya.  Ibu terus menarik tangan saya hingga saya terseret-seret. 

Sesampainya di rumah ibu menutup seluruh pintu rapat-rapat dan membawa adik ke ruang tengah. Saat itu rumah kami masih berdinding bambu. Mengikuti insting keingintahuan anak kecil, saya lekatkan wajah ke dinding, mengintip lewat sela-sela anyaman bambu. 

Sampailah di depan rumah rombongan gemeruduk tadi. Seorang perempuan bertubuh gemuk dengan kondisi mengenaskan ditandu di atas lincak *). Wajahnya rusak. Bengkak dan terluka di sana-sini. Seperti wajah Tony Fergusson saat dihajar Justin Gaethje. Darah mengalir deras membasahi tubuhnya. Sumpah serapah terdengar dari anggota rombongan. Sesekali seseorang menyabetkan alas kaki ke tubuh perempuan itu. 'Ceplaak !' Lalu diikuti suara rintihan.

"Patenana sisan wae aku, patenana sisan wae aku (bunuh saja saya sekalian, bunuh saja saya sekalian) !" Perempuan itu meraung-raung kesakitan. 

Pemandangan itu membekas di ingatan saya. Kenapa ibu bergegas pulang mungkin ingin menghindarkan saya dari pemandangan yang tidak kids-friendly itu. 

Saat itu saya tidak paham apa yang terjadi. Bertahun-tahun sesudahnya seseorang memberi tahu saya. "Itu Gerwani yang tertangkap setelah bertahun-tahun bersembunyi" Ujarnya. 

Hmm, saya paham. 

Setelah kudeta oleh PKI yang gagal pada 30 September 1965, terjadi gelombang balas dendam dan amarah. Anggota dan simpatisan PKI diburu di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali di kampung saya. Perburuan itu berjalan bertahun-tahun. Kejadian di atas jika dihitung sejak peristiwa G30S/PKI telah berselang 10 tahun.  

Dendam dan amarah itu nyata. Semua berawal dari provokasi anggota PKI beserta organisasi underbow-nya. Mereka jumawa, mungkin karena -salah satunya- merasa sebagai partai besar: empat besar dalam Pemilu 1955.
 
"Mereka gemar melecehkan umat Islam. Misalnya membuat pertunjukan ketoprak dengan lakon Patine Gusti Allah (Matinya Tuhan)" Kata Pak Daryoto, guru SMP saya. 

"Kali lain, mereka mengejek umat Katolik dengan memainkan lakon Pastor Gandrung (Pastur dimabuk asmara)" Lanjutnya. 

Sebelum pertunjukan, Pemuda Rakyat akan melakukan pemanasan dengan baris-berbaris keluar masuk kampung sambil meneriakkan yel-yel mendukung komunisme. Selama pertunjukan mereka akan menyemburkan hujatan-hujatan kepada siapapun yang mereka anggap musuh. 

Dalam mencari pendukung mereka juga tidak segan-segan melakukan intimidasi. 

"Pemilu nanti PKI pasti menang di sini. Itulah saatnya menghukum para pemuda yang tidak memilih PKI. Mereka semua akan dikebiri" kisah Pak Lik saya, menirukan ancaman dari salah satu dedengkot PKI di wilayah kami, saat mengintimidasi warga agar mencoblos PKI. 

Itulah mengapa saat arah angin berbalik, mereka yang terindikasi anggota atau simpatisan PKI atau organisasi di bawahnya diburu oleh mereka yang merasa tersakiti sebelumnya. 

Salah satu episode perburuan diceritakan oleh Pak Berland,  guru SMP saya yang lain. 

Pada saat itu beliau berusia pertengahan 20-an. Muda, ganteng, gagah, pendekar, pemberani dan yang paling penting anti PKI. Salah satu kegemarannya adalah keluar masuk kampung dan hutan untuk berburu. Sehingga wajar beliau hafal bin paham wilayah kami hingga ke jalan-jalan tikusnya. Orang tidak akan lupa atribut beliau saat berburu : topi laken hitam, jaket kulit coklat dan senapan angin mahal. 

Ketika tentara masuk ke wilayah kami dan membutuhkan penunjuk jalan beliau jadi pilihan pertama. Saat itu tentara sedang mencari Mbah Kromo, pemimpin sebuah padepokan di lereng Gunung Merapi yang sering didatangi Pemuda Rakyat untuk meminta 'isian'. Bisa dikatakan ia semacam 'guru spiritual' orang-orang komunis.

Pak Berland tidak asing dengan sosok ini. Sebagai seorang pendekar beliau hafal padepokan-padepokan silat di sekitarnya berikut pengasuhnya.

Singkat cerita, pasukan tiba dan langsung mengepung padepokan. Perintah menyerah diteriakkan berkali-kali oleh komandan pasukan. Namun tak ada sahutan dari dalam. 

Setelah menunggu sekian lama, barulah muncul sosok yang dicari. Bukannya menyerah, Mbah Kromo malah menantang tentara untuk menangkapnya. Tangannya mengacung-acungkan sebilah pedang. Tentara menyambutnya dengan tembakan peringatan beberapa kali. Ia bergeming. Bukannya berhenti, ia malah nyerocos 'berpidato' tentang pembelaan PKI kepada petani penggarap, buruh, kebejatan moral tuan tanah, lintah darat dan lain-lain. 

Tembakan mulai diarahkan ke tubuh. Dor ! Di luar dugaan, sosok tua itu tetap berdiri kokoh. Timah panas tidak mampu menumbangkannya. Hanya menyentuh kulitnya kemudian memantul ke tanah.  Sekali, dua kali, berkali-kali. Bahkan berondongan sekalipun berakhir sia-sia. 

"Saya kenal banyak orang sakti. Tapi melihat Mbah Kromo begitu, saya terkaget-kaget" Cerita Pak Berland saat itu di depan kelas. 

Tentara mengulur waktu. Membiarkan Mbah Kromo meneruskan pidato berapi-apinya. Saat ia jeda sejenak, tentara menghadiahi sebutir peluru. Di dadanya. Di perutnya. di kepalanya. Begitu berkali-kali. "Dibawa santai aja, Bro, ntar juga lowbatt sendiri" Mungkin begitu pikiran para serdadu. 

Akhirnya tibalah saat itu. Mbah Kromo terduduk kehabisan tenaga. Saat tentara mencoba meringkusnya, ia minta waktu berbicara dengan Pak Berland. Konon, seorang pendekar dapat dengan mudah mengenali ciri-ciri pendekar lainnya.

“Renea cah bagus (mendekatlah anak ganteng)”  ucapnya lemah. “Cuma kamu yang tahu urusan ini, bukan tentara-tentara keparat itu”  Suaranya pelan tapi penuh tekanan tanda menahan amarah.

"Kamu sudah melihat sendiri cekelan (ajian) saya. Tapi ketahuilah, meski di luar tubuh saya utuh, tapi di dalam sebenarnya hancur lebur" Napas Mbah Kromo tersengal-sengal. 

"Umur saya tidak akan lama lagi. Saya tidak ingin ilmu ini putus begitu saja tanpa ada yang meneruskan. Saya ingin memberikannya kepadamu" Mbah Kromo menata napas sejenak. 

"Gelema yo Le (mau ya Nak)"  Mbah Kromo berbisik di telinga Pak Berland yang berjongkok di sampingnya. Suaranya pelan nyaris tak terdengar. Seluruh pasukan menyaksikan dengan senapan terkokang. 

Hari menjelang senja. Semburat jingga menyaput langit barat. Suara tonggeret bersahut-sahutan pertanda kemarau segera datang. 

Yang di benak Pak Berland saat itu hanyalah bagaimana misi ini segera selesai. Maka tanpa berpikir panjang ia menjawab, "Nggih Mbah (Iya Mbah)".

"Kemudian Mbah Kromo membisikan wejangan hal ihwal ilmu itu. Bagaimana lelaku (ritual/latihan) nya, bagaimana mantranya, apa pantangannya. Dan sebagainya. Saya dengarkan dengan sabar, seperti mendengarkan wasiat seseorang menjelang ajal" Kisah Pak Berland. 

Karena wejangan itu cukup lama beberapa tentara mulai tidak sabar "Wis rung Mbah (sudah belum Mbah) ?!" Mereka menyela setengah membentak.   

Akhirnya selesailah sudah. Terpancar kelegaan di wajah Mbah Kromo, seperti PNS yang SK-nya 'lulus' dari bank.  

"Ra sah tok bedil. Sabeten wae nganggo godong kelor. Kui pengapesanku (Gak usah kalian tembak, sabet saja pakai daun kelor. Itu jalan kematian saya)"  Mbah Kromo menyampaikan pesan terakhirnya. Saat mengucapkan kalimat ini matanya terpejam. Napasnya timbul tenggelam seperti pasien Covid tidak dipasangi ventilator. Ia sendiri yang meminta agar segera diakhiri hidupnya. 

Lamat-lamat terdengar suara adzan Maghrib dari arah lembah. Kelelawar berseliweran keluar dari sarangnya. Matahari terbenam. Hari mulai malam. Terdengar burung hantu suaranya jelek. Gugu.. gugu ..gugu gugu gugu.  

Seorang tentara tanpa ragu menyabetkan seranting daun kelor yang di dapat dari kebun penduduk, ke tengkuk Mbah Kromo. Tubuh renta itu bergetar hebat, menggigil, mendengkur. Lalu hening .....

Pagi itu surya bersinar cerah. Angin tenggara bertiup sepoi-sepoi membawa bau harum putik sari bunga melati. Di kejauhan Gunung Merapi berdiri gagah. Tak henti-henti mengepulkan asapnya. Seolah bercanda dengan cahya mentari yang  tak lelah mencumbui lereng-lerengnya.   

Sebagai penghargaan atas bantuannya, Pak Berlan diajak ke Yogyakarta bertemu komandan operasi. 

"Numpak helikopter, Cah (naik helikopter, guys), he,he,he" Pak Berlan menceritakan hal itu sambil terkekeh jenaka. Wajahnya berbinar seperti anak sekolah mendengar bel tanda pulang.  

Sesampainya di Yogyakarta, dengan ditemani beberapa prajurit, Pak Berland memasuki gerbang markas. Tiba-tiba dari arah dalam tentara-tentara yang sedang berolah raga menyambutnya. 

"PKI ne ganteng, PKI ne ganteng !" Riuh rendah serdadu-serdadu itu bersorak sorai. 
"Ganteng-ganteng koq monyet PKI" Teriak yang lain setengah mengejek.
   
"PKI ndasmu !" umpat Pak Berland dalam hati kesal.  Rupanya ia dikira orang komunis yang berhasil diciduk dari persembunyian.

Hingga akhir hayatnya, tidak ada cerita apakah Pak Berland mengamalkan ilmu Mbah Kromo atau tidak. Toh tidak penting juga khan ?  

*) Lincak adalah bangku panjang terbuat dari bambu. Biasanya ditaruh di beranda depan rumah Jawa, sebagai tempat untuk bersantai.  

Disclaimer :
Kisah-kisah ini berasal dari tuturan kakek, nenek, orang tua, guru serta lingkar pergaulan saya di kampung, sebuah dusun di lereng Merapi, dimana kaum komunis pernah berusaha mendominasi wilayah itu. Beberapa adegan merupakan hasil imajinasi saya semata, namun tetap sejalan dengan substansi cerita. Apakah kisah-kisah ini benar adanya ? Saya mempercayainya. Anda ? Percaya silahkan, tidak  juga boleh. Bebas-bebas saja. Meskipun secara substansi saya meyakini kebenarannya, namun secara detil cerita mungkin ada bias di sana-sini. 

Jumat, 02 Oktober 2020

Panglima Yang Terluka

Photo : id.berita.yahoo.com

Namanya Turmudzi (bukan nama sebenarnya), seorang lelaki berperawakan tinggi, besar dan gagah. Kulit gelap serta kumis melintang menambah wibawanya. Ia putra seorang ulama sekaligus tokoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin)  di Kabupaten Boyolali. Keluarganya terpandang dan terhormat.

Saat itu, Boyolali merupakan wilayah basis PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Pemilu 1955 di kabupaten itu  PKI menang telak dengan memperoleh 150.097 suara. Disusul Masyumi dengan 43.298. Kemenangan yang luar biasa. Suara Masyumi yang berada di peringkat kedua tidak sampai sepertiganya. 

Bagi seorang Masyumi, tinggal di daerah seperti itu layaknya uji nyali. Ngeri-ngeri sedap. Apalagi PKI beserta organisasi underbow-nya terkenal agresif dalam meluaskan pengaruh. 

Rivalitas politik yang tinggi melahirkan gesekan hingga bentrokan di akar rumput. Tak terkecuali keluarga Turmudzi dengan pendukung PKI. Namun sejauh itu belum pernah terjadi bentrokan secara frontal. Salah satu sebabnya PKI pasti akan berhitung ulang untuk menggangu keluarga itu, karena ada Turmudzi di sana.  

Laiknya santri jaman dulu, selain belajar agama mereka juga belajar silat dan ulah kanuragan. Turmudzi pun demikian. Ia terkenal sebagai pendekar pilih tanding. Nyali serta kehebatannya dalam beladiri tidak diragukan lagi. 

Namun PKI tidak kurang akal. Tidak berani mengganggu secara langsung, mereka memilih jalan memutar. Membidik sasaran yang empuk dulu, soft target, yaitu kerabat Turmudzi. 

Maka mulailah satu persatu kerabat Turmudzi ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Bermula dari Pakdenya. Ditemukan meninggal dalam kondisi terikat di sebuah jurang. Akibat peristiwa ini Budenya depresi berkepanjangan. Beberapa waktu kemudian Pak Liknya tergantung di sebuah pohon di ladang tak jauh dari pemukiman.  Tak berselang lama sepupunya tewas ditusuk orang tak dikenal dalam kejadian pembegalan saat pulang dari pasar. Demikian berturut-turut kejadian-kejadian tragis menimpa kerabat-kerabat yang lain. 

"Kerabat saya hampir habis Dik. Tinggal beberapa yang selamat. Saya tahu, PKI sedang memainkan strategi double kill, membunuhi sedulur saya satu-satu sekaligus ingin menjatuhkan mental keluarga saya. Mereka berfikir saat mental kami jatuh akan gampang 'diselesaikan' " Cerita beliau, kepada bapak saya, pada suatu senja ditingkahi gemericik air hujan yang jatuh dari teritisan rumah.  

Beliau memang sahabat baik keluarga kami. Beliau memanggil bapak saya Dik. Bapak memanggilnya Mas. 

Di masa tuanya beliau rutin berkunjung ke rumah kami. Dalam kunjungan-kunjungan itulah beliau berkisah banyak tentang salah satu episode hidupnya yang paling penting sekaligus genting ; mempertahankan hidup dan kehormatannya dari kekejian PKI.

Menghadapi kenyataan kerabatnya diperlakukan demikian amarahnya membuncah. Tidak ada kata lain dalam pikirannya kecuali balas dendam. 

Hingga datanglah kesempatan itu. RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) mulai masuk ke daerah-daerah, tidak terkecuali Boyolali. Mereka diberi tugas untuk  membasmi anggota dan simpatisan PKI sebagai imbas percobaan kudeta komunis yang gagal pada 30 September 1965. 

Bergegas ia mengumpulkan pengikut dan membentuk pasukan. Dia sendiri yang menjadi panglimanya. Berbekal pemahamannya tentang wilayah basis PKI, ia merangsek ke daerah-daerah sekitar. Dendam yang membara menjadi bahan bakar amukannya. Ditambah keyakinan bahwa membunuh orang PKI adalah membunuh musuh agama dus musuh Tuhan. Bersama pasukannya, desa demi desa, dusun demi dusun ia bumihanguskan. Catatan kecil dalam sakunya menjadi petunjuk siapa-siapa yang harus 'diambil' untuk kemudian dieksekusi. 

Semua orang bergidik mendengar namanya. Sosoknya sering digambarkan sebagai seorang yang keras dan tidak kenal ampun kepada segala hal yang berbau PKI. Kelewang panjang yang disandangnya makin menegaskan kegarangannya.

"Kalau ada kabar Pak Turmudzi akan masuk suatu desa, semua orang lari bersembunyi, baik pengikut PKI atau bukan. Bahkan mereka mengungsi dan bersembunyi di tempat yang sama" Kata Pak Suranto, Guru olahraga SD saya yang juga berasal dari Boyolali. 

Kalau orang PKI wajar takut, tapi yang bukan PKI kenapa mesti takut? 

"Takut salah sasaran" Kata Pak Suranto singkat. 

Sebuah alasan yang masuk akal. Pada masa itu kadang sulit membedakan siapa kawan siapa lawan. Strategi infiltrasi komunis membuat mereka ada di mana-mana tanpa terendus, bahkan di dalam organisasi-organisasi keagamaan.

Dalam suatu kesempatan bapak saya pernah bertanya "Mungkin gak Mas, yang sampeyan bunuh ada yang bukan orang PKI ?" 

Pak Turmudzi diam sambil menarik napas dalam-dalam. Matanya menerawang ke langit-langit. Sejenak hening. "Mungkin saja" Jawabnya lirih hampir tak terdengar. "Apa boleh buat" Lanjutnya seakan meminta permakluman. 

Beliau kemudian bercerita bahwa setidaknya ada dua macam target saat itu. Yang pertama orang-orang yang jelas ke-PKI-annya. Orang-orang ini memang terang-terangan memproklamirkan diri sebagai anggota PKI. Beberapa diantaranya masuk struktur pengurus. Bahkan sebagiannya beliau kenal secara personal. Tidak ada keraguan atas mereka. 

Yang kedua orang-orang yang namanya tertera dalam catatan kecil yang selalu beliau bawa. Ada nama dan alamat lengkap di situ. Konon catatan itu dipasok oleh tentara. Jangankan tahu wajah, bahkan kebanyakan nama-nama itu tidak beliau kenal sebelumnya. 

"Berapa orang yang  sampeyan bunuh, Mas ?" Tanya bapak di lain waktu. 

"Saya sendiri kalau 80-an sepertinya ada. Yang oleh anah buah saya, entah berapa"  Jawab Pak Turmudzi

Waktu berlalu. Pemerintahan Orde lama tumbang digantikan Orde Baru. PKI dibubarkan. 

Suatu malam Pak Turmudzi dipanggil bapaknya. Ada kegalauan di mata sosok sepuh itu memandang anak lelakinya yang duduk takzim di hadapannya. 

"Wis mantep tenan kowe, Le (benar sudah mantap kamu, Nak) ?" Tanyanya dengan wibawa seorang ulama sekaligus orang tua. 

"Sampun, Rama (Sudah, Bapak)" Pak Turmudzi menjawab dengan penuh rasa hormat. 

"Yo wis, nek ngono wiwit saiki ora ana maneh urusan bapak anak aku karo kowe (Ya sudah, kalau begitu mulai sekarang tidak ada lagi hubungan bapak anak antara saya dengan kamu)" 

Pak Turmudzi terhenyak mendengar itu. Ia masih termangu saat orang tua itu beranjak dari hadapannya dengan wajah kecewa. 

Ini seperti sebuah drama dengan plot twist. Akhir cerita tidak terduga. Kadang tidak sesuai harapan penonton. Bahkan membuat kecewa. Tapi bukankah dunia tempat segala kemungkinan ? Pahlawan tidak selalu tampil sempurna. Sepanjang masih manusia maka ia tentu memiliki sisi lemah. 

Pak Turmudzi, putra seorang ulama, sosok hero pembela agama itu, pada masa senjanya, sepeninggal istrinya yang meninggal setelah menderita sakit bertahun-tahun, menyatakan diri 'tidak mau lagi menjalankan syariat Islam", misalnya sholat, puasa dan sebagainya.

Beliau memilih menekuni aliran kepercayaan kejawen dalam sisa hidupnya. Meskipun secara formal (di KTP dan dokumen kependudukan lainnya) beliau tetap beragama Islam. Tidak ada yang tahu pasti latar belakang keputusan ini.

Itulah sebabnya orangtuanya tidak lagi menganggapnya anak. 


اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا، وَمَيِّتِنَا، وَصَغِيرِنَا، وَكَبِيرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا

Ya Allah, ampunilah orang yang hidup dan yang sudah meninggal di antara kami, yang masih kecil dan yang sudah dewasa, yang laki-laki maupun perempuan, yang hadir maupun tidak .....” (Al-Adzkar An-Nawawi).


Disclaimer :
Kisah-kisah ini berasal dari tuturan kakek, nenek, orang tua, guru serta lingkar pergaulan saya di kampung, sebuah dusun di lereng Merapi, dimana kaum komunis pernah berusaha mendominasi wilayah itu. Beberapa adegan merupakan hasil imajinasi saya semata, namun tetap sejalan dengan substansi cerita. Apakah kisah-kisah ini benar adanya ? Saya mempercayainya. Anda percaya silahkan, tidak  juga boleh. Bebas-bebas saja.Meskipun secara substansi saya meyakini kebenarannya, namun secara detil cerita mungkin ada bias di sana-sini. 


Suradi Blêdhèg, MMC dan Grayak

Photo : Koleksi pribadi

27 Januari 1951 satu regu patroli terdiri dari satu regu Yonif 417, CPM dan 30 polisi menyusuri jalan dari Kota Klaten melewati Kebonarum, Karangnongko, Kemalang naik menuju lereng Gunung Merapi.  

Mereka ditugaskan untuk membubarkan rapat gerombolan MMC (Merbabu Merapi Complex) di Dusun Kaliwuluh sekaligus menangkap tokoh-tokohnya. 

MMC adalah kumpulan eks kombatan perang kemerdekaan yang kecewa karena tersingkir imbas kebijakan Re-Ra (Reorganisasi Rasionalisasi) Kabinet Hatta. Kebijakan ini mensyaratkan hanya eks kombatan yang pernah dilatih KNIL atau eks PETA yang dapat direkrut menjadi tentara yang digaji pemerintah. Petempur tanpa 'pelatihan formal' silahkan minggir. 

Merasa senasib sepenanggungan mereka memutuskan memberontak kepada pemerintah dan membuat basis di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu, di hutan dan jurang yang sulit dijangkau pasukan pemerintah.

Untuk mencukupi logistik mereka berkomplot dengan bandit lokal yang sudah eksis lebih dahulu yaitu Grayak (Gerakan Rakyat Kelaparan). Adalah lazim saat itu ketika sebuah rumah dirampok, berita yang berkembang di masyarakat adalah 'rumah itu digrayak'. Kata grayak sudah menjadi sinonim baru kata rampok. 

Jarahan favorit mereka sapi. Selain untuk persediaan logistik di persembunyian, sapi juga dikirim ke Semarang sebagai penukar senjata yang dipasok serdadu Belanda. Mereka juga gemar mendatangi pesta adat seperti pernikahan atau khitanan untuk melucuti perhiasan hadirin. Itulah mengapa saat itu orang tidak berani mengenakan perhiasan saat menghadiri pesta. "Wedi (takut) digrayak" Kata nenek saya.  

Aksi-aksi kriminal ini menimbulkan keresahan yang akhirnya melahirkan antipati terhadap gerakan ini.  

Pada awalnya MMC tidak berafiliasi kepada partai politik atau ideologi manapun. Seiring berjalannya waktu, orang melihatnya mempunyai hubungan erat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal itu dipengaruhi salah satunya, karena banyaknya eks kombatan berideologi komunis, yang bergabung dengan MMC.   

Salah satu dedengkot MMC adalah Suradi Blêdhèg ( 'e' pertama dibaca seperti kerbau, 'e' kedua dibaca seperti bebek). Blêdhèg (Bhs. Jawa) berarti petir. Ia mendapat julukan itu karena suaranya yang mengguntur menggelegar. Ia juga terkenal sakti mandraguna. 

Singkat cerita, pergerakan pasukan itu terendus telik sandi MMC yang segera menginformasikan ke peserta rapat. Suradi Blêdhèg bergerak cepat membubarkan rapat. 

Apakah mereka bubar untuk lari dan sembunyi ? Sama sekali tidak. Bukan Suradi Blêdhèg jika tidak nekat. Ia justru memerintahkan orang-orangnya untuk menyongsong pasukan itu.

Di sepanjang perjalanan mereka menggedor rumah orang-orang untuk dipaksa bergabung.  Di bawah ancaman senjata, rakyat yang sebenarnya membenci mereka terpaksa bergabung dengan membawa senjata seadanya ; arit (sejenis celurit), pedang, parang, kelewang, kapak, linggis, tongkat, balok kayu dan sebagainya. Dalam waktu singkat massa yang semula puluhan itu menjadi ratusan. 

Di Desa Dompol, tiga kilometer dari lokasi rapat, kedua kelompok bertemu. Pasukan patroli sama sekali tidak menduga akan dihadang massa sedemikian besar. Membenturkan pasukan dengan massa sebanyak itu sama saja bunuh diri. Dengan segera komandan memutuskan untuk mundur. 

Tragedi dimulai. Pasukan lari kocar-kacir dikejar massa dengan beringas. Satu persatu tertangkap dan (maaf) dicincang di pinggir jalan. Massa semakin membesar karena sepanjang pengejaran, gerombolan terus menggedor rumah-rumah penduduk dan memaksa mereka bergabung. 

Konon, hanya tersisa satu orang yang selamat. Tentara itu, the last standing man, menceritakan bahwa saat sampai di Desa Mipitan, enam kilometer dari Desa Dompol, ia sudah hampir tertangkap. Beruntung ada truk pengangkut tembakau lewat. Dengan tenaga yang tersisa ia melompat ke atas truk. Sopir yang menyadari situasi segera melajukan kendaraannya. Maka selamatlah dia. 

Akibat kejadian itu pemerintah bertindak tegas dengan menggelar tiga operasi sekaligus yaitu Operasi Merdeka Timur 1 (OMT 1) , Operasi Merdeka Timur 2 (OMT 2) serta Operasi Merapi Merbabu (OMM). 

Pada 1 April 1951 Suradi Blêdhèg berhasil ditewaskan oleh tentara di Desa Brintik, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten.

Tersisa kisah saat benggol itu tewas. Dikisahkan Suradi Blêdhèg selalu berpindah tempat. Lari kesana kemari, berganti tempat sembunyi. Menghindari pengejaran. Sekali dua hampir tertangkap namun selalu lolos. Tapi pelarian semakin sulit saat tentara mulai melibatkan aparat desa untuk mempersempit ruang geraknya. 

Kisah berakhir di sebuah rumah persembunyian. Saat ia disergap seorang tentara muda. Kelelahan fisik dan mental membuatnya tak mampu lagi berlari. Namun, konon, sisa-sisa kesaktiannya masih bertuah. Berondongan senapan, jangankan membunuhnya, menggores kulitnyapun tidak.

"Anak muda, kamu hanya bisa menyakitiku, tapi tidak membunuhku. Hanya saya sendiri yang bisa melakukannya" Katanya lirih. 

"Berikan pistolmu anak muda. Biar saya akhiri hidupku sendiri. Cukup sudah penderitaanku di dunia ini. Aku lelah. Percayalah ini bukan siasat. Kamu lihat sendiri berjalan saja saya kesusahan" Lanjutnya menghiba. 

Entah mengapa tentara itu percaya. Setelah menerima pistol, dengan mengesot Suradi Blêdhèg masuk ke salah satu kamar. Sesaat kemudian terdengar letusan. Dor !

Saat ditengok jasadnya telah terbujur kaku. Darah membanjir membasahi lantai. Pistol terselip di -maaf- anusnya. Ia menembak dirinya di bagian itu. 

Ternyata itu rahasia kesaktiannya.  

Disclaimer :
Kisah-kisah ini berasal dari tuturan kakek, nenek, orang tua, guru serta lingkar pergaulan saya di kampung, sebuah dusun di lereng Merapi, dimana kaum komunis pernah berusaha mendominasi wilayah itu. Apakah kisah-kisah ini benar adanya ? Saya mempercayainya. Anda percaya silahkan, tidak  juga boleh. Bebas-bebas saja.Meskipun secara substansi saya meyakini kebenarannya, namun secara detil cerita mungkin ada bias di sana-sini.