Sabtu, 01 Januari 2011

Naik KRL Bersama Orang-Orang Hebat Indonesia


Photo : express.co.uk

Senin 26 Oktober 2009 saya mendapat undangan ‘konser’ dari teman-teman Subdit Setelmen Transaksi di Wisma Anggraini, Puncak. Konser adalah bahasa slank untuk konsinyering, yang arti gampangnya adalah rapat di luar kantor.

Sesudah malam yang produktif itu, pagi-pagi, sehabis Subuh saya segera berkemas. ‘Pulang kapan Man ?’ Tanyaku ke Iman, teman sekamar, dengan nada menawarkan untuk pulang bersama. ‘Aku agak siangan, Mas. Bareng rombongan aja’ Sahutnya, sambil mengibaskan selimut, bergegas hendak melanjutkan boboknya. No problemo, Man. Tapi saya harus sampai kantor sepagi yang saya bisa. Hari ini, tiga kolegaku off. Satu cuti haji, satu pulang kampung menghadiri pemakaman neneknya, satu lagi tidak aktif. Jika saya tidak ngantor, karena status saya sedang tugas luar, bisa kacau dunia. (sok penting mode on).

Dari Cisarua, setelah ganti angkot dua kali sampailah saya di Stasiun Bogor. Untuk menuju Jakarta ada beberapa pilihan. Kereta Pakuan Express, Ekonomi AC, serta Ekonomi Biasa. Pilih yang mana ? Lempar koin ! Gambar berarti naik Ekonomi Biasa. Angka berarti naik Pakuan Ekpress. (Jangan percaya ini hanya dramatisasi saja he..he..). Pilah-pilih, timbang-timbang naik Ekonomi Biasa saja, secara saya termasuk kasta sudra ini….. Ongkosnya murah. Cuman dua ribu perak. Perjalanan sejauh itu hanya seharga dua kali pipis di toilet umum.

‘Yang ke Kota mana Bang ?’ tanyaku ke tukang koran, takut salah naik. 'Ini nih' Jawabnya sambil menunjuk kereta di hadapanku. Tidak ada lagi tempat duduk tersisa. Jadilah saya berdiri dekat pintu sambil berpegang pada besi ram pelindung blower yang sudah tidak lagi berfungsi. ‘Ini ke kota ya Bang ?’ Tanyaku ke penumpang sebelah, untuk lebih meyakinkan. ‘Gak tahu saya’. Lho piye tho ? Ya sudah saya yakin-yakinkan diri bahwa saya tidak salah naik. Tak berapa lama kereta berangkat. Duh, dari stasiun pertama saja sudah demikian padat.

Saya tidak hapal urut-urutan stasiun sejak Bogor hingga Kota ; Bojong Gede, Cilebut, Citayam, trus ….? Baru stasiun ketiga, menurut ukuran normal, gerbong sudah tidak mampu lagi dimuati lebih banyak penumpang. Namun demikian orang-orang itu dengan gigih tetap berusaha merangsek ke dalam laksana serbuan Banzai tentara bayonet Dai Nipon dalam Pertempuran Saipan di Kepulauan Marianna Pasifik. Semua calon penumpang di stasiun seakan-akan pelari sprint menunggu aba-aba wasit. Semua dalam posisi ‘bersedia’ saat kereta nampak di kejauhan. Derit rem kereta adalah aba-aba ‘siap’. Hentakan kereta berhenti adalah bunyi ‘prit’ peluit. Semua berebut. Lady first ? Semua lady ! Semua first !

Stasiun demi stasiun. Gelombang demi gelombang manusia. Turun satu naik seribu. Tidak ada lagi sisa ruang untuk sekadar menggeser kaki. Berani mengangkat kaki, siap-siap tidak dapat ruang menapak kembali. Saat masinis mengerem, penumpang terlempar ke depan. Tergencet. Pegangan terlepas. Saat kereta berangkat penumpang terlempar ke belakang. Tergencet lagi. Pegangan terlepas lagi. Sejauh ini tidak terdengar keluh-kesah. Yang ada justru celotehan. ‘Masinisnya becanda nih’ Terdengar gurauan. Saat himpitan makin tak tertahankan, mulai terdengar ‘Aduh-aduh, jangan dorong-dorong dong Pak’ Seru ibu-ibu di dekat tangga. ‘Naik kereta dua ribu perak ini, jangan pake marah dong’ Sahut Si Bapak galak. Orang-orang hanya tersenyum. Lebih banyak lagi tak peduli. Namun tidak ada amarah.

Di stasiun yang ke sekian kereta berhenti. Agak lama. Saya hampir tidak tahan. Saya belum sarapan. Saya merasa diri ini tinggal kepala. Leher ke bawah entah kemana. Mati rasa. Tenggelam dalam lautan peluh. Penumpang-penumpang adalah kepala-kepala yang thingak-thinguk kiri-kanan berebut oksigen. Berhenti berarti pertukaran udara di gerbong juga berhenti. CO2 yang dihembus penumpang sebelah saya hirup. CO2 yang saya hembus dihirup penumpang sebelah lagi. Demikian seterusnya. Rupanya kereta kaum proletar ini sedang menunggu kereta kaum borjuis, Pakuan Ekpress yang hendak mendahului.

‘Kemaren ada copet dipukuli sampai babak-belur‘ Seorang bapak membuka pembicaraan. ‘Kalau dia bukan copet beneran, gimana coba ? Kasihan khan !’

‘Ah, biarin aja. Ngapain kasihan. Rumusnya memang pukulin dulu, siapa tahu dia copet beneran’ Timpal rekannya. Ternyata komunitas komuter ini punya logika berpikirnya sendiri.

Kereta Pakuan Ekpress lewat. Lampunya menyala terang. ACnya berhembus sejuk sepoi-sepoi. Penumpang duduk aman sentosa di dalamnya. Kereta apiku seakan menunduk takzim, mempersilahkan tuannya mendahului.

‘Menteri-menteri baru itu, belum-belum sudah mau naik gaji. Termasuk menhub. Benerin dulu dong KRL. Ini sudah tidak manusiawi’ Seorang lelaki, tepat di hadapanku, dengan logat swarnadwipa tiba-tiba berpidato. Orang-orang tak mengacuhkannya. Tak mengapa. Anggap saja itu sebagai katalis atas kesuntukan hidupnya selama ini. ‘Sekali kali menteri-menteri, anggota DPR atau presiden sekalian, suruh rasain naik KRL. Biar mereka tahu keadaan rakyatnya, bla..bla..bla..Gara-gara penuh sesak begini, kasihan tuh mahasiswi-mahasiswi gak berani naik' Kutuknya dengan nada kesal sambil mengarahkan pandangan ke wajah-wajah bening yang bergerombol di plasa stasiun. He..he.. koq ujung-ujungnya mahasiswi. Yang gak berani naik gak cuman mereka, Om. Tuh, Mbok-mbok jamu gendong dan Kang Sudar kuli gali tanah juga manyun di stasiun menunggu kereta berikutnya.

Sudah sampai mana, Bang ?’ Tanyaku kepada seorang anak muda.
‘Cikini’ Jawabnya.
‘Juanda ?’
‘Oh, sebentar lagi. Habis Gambir’

Saat stasiun warna orange itu di depan mata, saya bersiap turun. Ternyata saya yang semula berdiri di depan pintu, terdorong cukup jauh ke dalam. Sekian langkah baru saya capai pintu keluar.

Dalam perjalanan menuruni tangga.

’Emang biasanya begini ya Pak ?’ Tanya saya kepada bapak paruh baya sambil berjalan beriring.
‘Ini tadi kita dapat diskon 50%, maksudnya biasanya dua rangkaian delapan gerbong, tadi cuman satu rangkaian empat gerbong’ Jawabnya. ‘Tapi gak beda jauh deh meskipun dua rangkaian juga, teteup, empet-empetan’ Imbuhnya.

Kutengok atap kereta. Penuh orang-orang duduk santai. ‘Ah andai saya tadi naik ke situ, tentu tak perlu saya tahankan semua ‘penderitaan’ ini’ Rutukku. Apakah Anda pernah berpikir bahwa naik di atap kereta adalah perbuatan bodoh, tidak berpendidikan dan membahayakan diri sendiri ? Cobain dulu deh naik KRL Ekonomi Biasa, baru komentar. Anda juga baru akan tahu kenapa segala daya upaya– menyemprot dengan pewarna, menanam besi lancip atau mengolesi atap dengan oli - tidak pernah berhasil mencegah hal itu.

Perjalanan ini memakan waktu hampir dua jam. Selain badan remuk redam, tampilan saya, tentu saja acak adut tak karuan. Benar keputusan saya untuk pakai polo shirt saja. Sementara pakaian kerja saya simpan rapi dalam back pack. Tangan, wajah, rambut, kaos, celana hampir-hampir seperti habis diguyur hujan. Semua kuyup oleh keringat. Mampir toilet dulu ah ! Basuh-basuh, ganti baju, trus menuju ke kantor yang tidak seberapa jauh dari situ.

Kawan, apakah saya terlihat cengeng ketika menceritakan semua ini ? Seakan-akan ini adalah peristiwa istimewa hebat tak terlupakan, momen historis yang perlu dikenang sepanjang masa, yang karena sebegitu pentingnya hingga saya merasa perlu menuliskannya dalam blog ini ? Sementara ibu-ibu itu, bapak-bapak itu mengalaminya setiap hari, menjalaninya sebagai rutinitas dan menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Tak berlebihankah jika saya menyebut mereka orang-orang hebat, yang atas nama tanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga, setiap hari, ya setiap hari, bertahun-tahun, rela berpeluh, berdesakan, berjibaku, pagi berangkat kerja bertumpuk-tumpuk kaya ikan pindang, sore  pulang kerja 
berdempet-dempet kaya bandeng presto demi orang-orang yang dicintainya ?

3 komentar:

  1. menyeramkan banget, :( bahaya, tapi mau begiman lagi :(
    :)

    BalasHapus
  2. salut buat orang indonesia ...

    BalasHapus
  3. Salah satu harapan di tulisan ini terkabul. Menteri naik KRL pada jam sibuk. http://bit.ly/tm1iQi

    BalasHapus