Sabtu, 01 Januari 2011

Ada Apa dengan Toko Emas ?



        
Photo : Jewelsbox.co


            Cerita ini berasal dari kisah nyata seorang pembeli emas perhiasan di sebuah toko emas di sebuah pusat perbelanjaan, jika dari arah pintu tol Cibinong (Jagorawi), sebelah kiri, tidak seberapa jauh sebelum Pasar Cibinong. Sebut saja ia Investor Emas (IE) dan tokonya Toko Emas (TE). 

          Secara garis besar kisahnya adalah kekesalannya atas penentuan harga emas perhiasannya, yang ia nilai sepihak dan tidak masuk akal, saat ia hendak menjualnya kembali ke toko emas langganannya, setelah ia simpan bebeberapa lama. Namun anehnya saat ia menjual emas yang lain yang ia beli di sebuah kota nun di sebuah kota di Sumatera sana, hal serupa tidak terjadi.
IE : Berani beli berapa emas saya, Koh (22 karat, berat sekian gram) ?
TE : Rp. 170 ribu/gram Bos
IE : Walah, murah sekali Koh. Gimana tuh ngitungnya ? Harga emas 22 karat hari ini saja sudah Rp. 250 ribu per gramnya. Masak selisih harag jual dan beli 28% ? Yang bener aja Bro. 
IE sempat survey dulu, dengan berpura-pura mau beli emas, di toko itu sebelumnya, jadi dia tahu persis harga hari itu.
TE : Itu harga belum ditawar Bos, apalagi Bos khan dulu belinya cuman Rp. 140 ribu per gramnya. Tuh ada di suratnya.
IE : Lho apa hubungannya dulu saya beli berapa dengan sekarang dibeli berapa. Mestinya lu hargai emas saya sesuai harga hari ini. Kalau memang dikurangi biaya bikin, silahkan. tapi ya gak sampai 28% lah. Enak aja. 
TE : Hitungannya emang gitu Bos. Toh Bos sudah untung khan ? Dulu beli Rp. 140 ribu/gram sekarang dibeli Rp. 170 ribu/gram ? Masih untung make lagi.
IE : Sok tahu lu untung make. Orang gelang ini nyaris gak pernah dipake.
TE : Udahlah Bos. Bos udah untung banyak nih. Baru pegang setahun udah untung sekian.
IE : Bukan begitu Koh. Hari ini aku juga bawa perhiasan yang lain. Di sebelah berani beli Rp. 224 ribu/gram dikurangi biaya bikin. Pertanyaannya : sama-sama emas 22 karat, sama-sama dijual hari ini kenapa harganya berbeda jauh hanya karena lihat di suratnya dulu belinya dengan harga berbeda.
IE kebetulan juga menjual perhiasannya yang lain di toko sebelah. Karena dulu beli Rp. 224 ribu/gram, maka toko tersebut menawarkan harga yang sama, Rp. 224 ribu/gram dikurangi ongkos bikin. IE memutuskan untuk batal melepas barangnya karena rugi. Ia akan menyimpannya dan menjualnya lagi suatu saat.

TE : Emang begitu Bos. Harus dilihat, dulu belinya berapa baru dihitung harganya.
IE : Gak masuk akal Koh. Trus kalo ada orang dateng ke sini mo jual emas jaman Majapahit ia dapat nemu dari kebun gimana ngitungnya. Pan lu gak bisa lihat harga belinya, orang dia dapat dari nemu.
TE : [TERDIAM AGAK LAMA, kemudian]Tapi Bos udah untung banyak lho. Bandingin sama HP. HP Bos yang dapet beli setahun lalu dijual hari ini sudah turun banyak harganya. Bahkan mungkin gak laku.
IE : Yaaah, makin lucu aja lu, Koh. Masa emas dibandingin ma HP. HP tahun 90an dijual sekarang gak ada yang mau beli. Tapi, jangankan emas tahun 90an, emas jaman Fir’aun pun laku dijual hari ini.
TE : [TERDIAM AGAK LAMA]
IE : Udahlah Koh. Saya minta harga gak tinggi-tinggi amat koq. Taruhlah harga jadi hari ini Rp. 240 ribu/per gram. Saya minta harga itu dikurangi biaya bikin 15 ribu/gram jadi Rp. 225 ribu per/gram. Gimana ?
TE : Wah berat Bos. Gak mungkin di atas Rp. 200 ribu/gram
Berkali-kali TE mesti nelpon bosnya (yang sedang tidak ditempat) menghadapi pelanggan ngeyel ini. Setelah ‘berkelahi’ selama hampir satu jam, hanya untuk menjual dua gelang dan satu cincin, akhirnya IE mendapat harga mendekati Rp. 200 ribu/gram. Rupanya TE lelah juga menghadapi pelanggan yang mau ‘bertempur’ seperti itu.

Sebulan kemudian saat Lebaran, IE pulang ke Dumai. Tak lupa ia bawa beberapa perhiasan yang ia beli di sana. Akan ia lego pula itu asset. Hah..!, ternyata guampang buaaanget jualnya. Gak perlu ‘berantem’, apalagi sampai sejam.
IE :Harga emas 22 karat hari ini berapa Da ? (Uda adalah panggilan setara Bang bagi laki-laki Sumatera Barat)’.
UDA :Rp. 235 ribu Om.
IE : Aku mau jual, berani beli berapa ?
UDA :Harga hari ini dikurangi biaya bikin 25 ribu. Jadi Rp. 210 ribu per gram
IE :Biaya bikin jangan banyak-banyak. Rp. 20 ribu aja ya. Jadi per gramnya Rp. 215 ribu.
UDA :Ok. Ini sekian gram jadi totalnya sekian-sekian.
IE serahkan barangnya. Si Uda serahkan duitnya. Beres ! Padahal perhiasan itu bukan dibeli di toko Si Uda, tapi toko sebelahnya yang masih tutup karena libur lebaran. Kebetulan ia juga dititipi perhiasan lain milik adik iparnya untuk dijual, setelah ia simpan selama empat tahun. Ternyata toko emas berani beli hampir dua kali lipat dari harga yang tertera di surat. Itu artinya nilai perhiasan tersebut tumbuh 100% selama empat tahun alias 25% per tahun. Jauh di atas rata-rata bunga deposito.

IE memang investor emas hardcore. Ia tahu betul ia tidak (belum) lihai terjun di dunia investasi sektor riil. Tapi ia juga gak mau didzalimi perbankan yang hanya memberikan hasil atas tabungannya sebesar 1-2 % per tahun dikurangi biaya administrasi dan pajak itu.

"Dengan hasil segitu sama saja saya bunuh diri di tiang gantungan inflasi" cetusnya. 

Yup, dengan tingkat inflasi VERSI RESMI yang rata-rata 11 % itu, kenaikan tabungannya tidak mampu mengejar kenaikan harga-harga. Kalau VERSI RIIL bahkan Anda sendiri bisa mengira-ira sendiri. Dalam setahun ini, beras yang anda beli, cabe, gula, minyak, susu, kontrakan rumah, harga mobil, motor adakah yang hanya naik 11 % ? Rasanya lebih dari itu !

Untuk itu ia melindungi nilai (value protection) assetnya dengan menyimpannya dalam bentuk emas. Sejauh ini dalam setahun tingkat kenaikan harganya selalu di atas tingkat inflasi. Akan lebih besar lagi kalau ia mau berlaku sebagai spekulan. Tapi ia tidak lakukan itu.

Pengalaman ‘pahit’ berantem dengan toko emas itu membuatnya ambil keputusan tidak akan lagi membeli perhiasan, kecuali sekadar yang cukup untuk dipakai istrinya. Atau kalaupun mesti beli perhiasan ia tidak akan pergi ke toko emas itu. Selain itu ia sudah punya pilihan lain. Beli logam mulia (gold bar) di PT. Logam Mulia atau koin emas dalam bentuk dinar di Gerai Dinar. Setiap hari harga beli dan jual di-declare. Jadi jelas.

Sejauh ini ia lebih memilih membeli dinar di Gerai Dinar.‘Gampang ngitung zakatnya’ kilahnya. Yups, tiap 40 keping dinar yang telah disimpan selama setahun ia sisihkan 1 keping (2,5%) untuk diserahkan ke lembaga zakat sebagai zakat mal. Praktis ! Memang ada plus minusnya gold bar versus dinar, jika dilihat dari aspek perpajakan, tingkat ke-likuid-an, kemudahan untuk dibagi, dsb. Tapi ia sudah memutuskan.

Sidang pembaca yang budiman, adakah yang juga memiliki kisah serupa, saat menghadapi toko emas yang ‘reseh’. Atau jika Anda pemilik toko emas, sebetulnya gimana sih mestinya Anda ngitung harga saat seseorang mau jual perhiasannya. Apakah seperti Si Koh, apa seperti Si Uda ?


2 komentar:

  1. Kabar dari orang yang saya kenal : belum lama ia pergi ke pusat perbelanjaan yang sama tapi di toko emas berbeda. Ia hendak menjual gelangnya. Toko emas memasang harga jual 320 ribu/gram untuk emas 22 karat. Saat orang ini mau jual cuman dihargai 250 ribu/gram. Artinya selisih harga jual dan beli 22%. Untuk +-24 gram gelangnya selisih harga mencapai 1.7 juta. Damn !

    BalasHapus
  2. tulisan yg sangat bagus pak, sy sedang akan mulai mengamankan sedikit aset saya ke logam mulia.

    BalasHapus