Rabu, 03 November 2010

Hakekat Nilai dari Ilmu, Pesan Albert Einstein kepada Mahasiswa Carolina Institute of Technologi (1938)



Photo : https://www.space.com


Bagi yang pernah belajar Ilmu Pengetahuan Alam, atau Fisika hampir tidak mungkin tidak mengenal orang yang satu ini. Albert Einstein ! Fisikawan teoretis yang lahir pada 14 Maret 1879 dan meninggal 18 April 1955 pada umur 76 tahun ini, hampir-hampir menjelma menjadi manusia setengah dewa bagi para pengagumnya. Einstein, relativitas, E=MC2, bom atom adalah empat serangkai yang tidak bisa dipisahkan bagi penggemar awam tokoh ini. Kenapa penggemar awam ? Karena sosok Einstein jauh lebih komplek dan komprehensif dari sekadar empat hal tersebut. Salah satunya adalah sisi manusiawinya. Dikisahkan bahwa Einstein stress berat dan marah besar kepada Presiden Harry S. Truman saat mengetahui formula racikannya yang menghasilkan bom atom digunakan untuk membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki.

Berikut ini adalah pidato Einstein yang mewakili sisi manusiawi ilmuwan terkenal tersebut, yang disampaikan kepada mahasiswa Carolina Institute of Technologi pada tahun 1938. Isi dari pidato tersebut kurang lebihnya adalah agar sejauh-jauh seorang ilmuwan melakukan riset maka pijakannya haruslah demi kemaslahatan kehidupan itu sendiri.

Rekan-rekan yang Muda Belia,
Saya merasa sangat bahagia melihat Anda semua di hadapan saya, sekumpulan orang muda yang sedang mekar yang telah memilih bidang keilmuan sebagai profesi.

Saya berhasrat untuk menyanyikan hymne yang penuh puji, dengan refrain kemajuan pesat di bidang keilmuan yang telah kita capai, dan kemajuan yang lebih pesat lagi yang akan Anda bawakan. Sesungguhnya kita berada dalam kurun dan tanah air keilmuan. Tetapi hal ini jauh dari apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan. Lebih lanjut, saya teringat dalam hubungan ini kepada seorang muda yang baru saja menikah dengan seorang istri yang tidak terlalu menarik dan orang muda itu ditanya apakah dia merasa bahagia atau tidak. Dia lalu menjawab, "Jika saya ingin mengatakan yang sebenarnya, maka saya harus berdusta."

Begitu juga dengan saya. Marilah kita perhatikan seorang Indian yang mungkin tidak beradab, untuk menyimak apakah pengalaman dia memang kurang kaya ataukah kurang bahagia dibandingkan dengan rata-rata manusia yang beradab. Terdapat arti yang sangat maknawi dalam kenyataan bahwa anak-anak dari seluruh penjuru dunia yang beradab senang sekali bermain meniru-niru Indian.

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita ? Jawaban yang sederhana adalah - karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjagal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tak seberapa. Kamu akan mengingat tentang seorang tua yang menyanyikan sebuah lagu yang jelek. Sayalah yang menyanyikan lagu itu, walau begitu, dengan sebuah itikad, untuk memperlihatkan sebuah akibat.

Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda - agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan.

----------------------------------------------------oo00oo----------------------------------------------------

Catatan pribadi :
Saat menulis ini jiwa saya melayang, flash back 20 tahun ke belakang. Menclok di kelas 3A13, ruang di sisi lorong gerbang, SMA Negeri 1 Klaten.

Sekilas tercium bau harum bunga-bunga Acacia Longifolia yang rontok di halaman tengah. Ditingkahi hilir mudik ABG-ABG tanggung mengenakan kaos kelas kebanggaan. Entah ada berapa kelas yang memproklamirkan diri sebagai 'Einstein mania' menyematkan foto diri Dewa Fisika itu di dadanya.

Bergerak perlahan slideshow di pelupuk mataku, menampilkan satu persatu wajah para guru yang kami hormati, yang menorehkan sebagian warna-warni jalan hidupku, kemaren dan hari ini. I miss you all ! Khususnya guru Fisika saya..... Pak Wanto..... 

Pak Wanto, panjenengan berbeda ! Tanpa basa-basi Bapak pukulkan palu pengetahuan dengan sangat keras ke ubun-ubun kami. Kadang menyakitkan. Tapi justru karena itu pakunya menancap kuat hingga hari ini. 'Mikir ki nganggo iki, ra nganggo iki' Kata Bapak ketus. Iki yang pertama Bapak menunjuk jidat. Iki yang kedua Bapak menunjuk dengkul. Kekekekeke......

Hingga kami penasaran karena soal ulangan Bapak tidak pernah mirip dengan yang di buku pegangan terbitan manapun. Indah ! Begitu Indah ! Bukan hanya alur logikanya tapi juga angka-angka jawabannya. Angka-angka yang keriting saat perhitungan itu tiba-tiba secara ajaib menjelma menjadi angka cantik pada jawaban akhir. 

Suatu hari, kami sekelas sedang serius mengerjakan ulangan Bapak. Seperti biasa, Bapak tidak pernah menunggui kami. Eeee ... ditunggui atau tidak sama saja sih. Mau nyontek gak ada di buku, nanya temen sama-sama judeg. Senyampang Bapak menikmati Kretek Gudang Garam Merah di luar kelas, salah seorang dari kami, Abdul Rochim, berjingkat-jingkat ke meja guru, membalik kitab kuning stensilan azimat Bapak. 'Buku jaman Londo...! teriak Abdul Rochim 'Ujian AMS 1920 ...! lanjutnya. Terlihat ekspresinya kaget campur heran. Begitu juga dengan kami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar