Selasa, 27 Oktober 2020

Investasi Bodong, Masihkah Akan Berulang?

Photo : www.pixabay.com

Tulisan saya ini dimuat di neraca.co.id tanggal 10 Februari 2020.  Saya tulis kembali di sini - dengan beberapa perbaikan- agar lebih banyak orang bisa memetik manfaatnya. Tulisan di neraca.co.id bisa dibaca di link ini

Seorang teman berseloroh “Di Indonesia, jangankan investasi bodong, kerajaan bodong saja banyak pengikutnya”. Sebuah kalimat satire yang jika direnungkan ada benarnya juga.

Hari-hari ini masih hangat berita tentang investasi bodong MeMiles. Sebuah penipuan investasi, yang dalam tempo enam bulan berhasil menarik 264 ribu nasabah dan mengumpulkan dana hingga Rp. 750 milyar, sebelum akhirnya terbukti merupakan aksi tipu-tipu dengan skema Ponzi ; reward yang diterima nasabah berasal dari setoran nasabah berikutnya.

MeMiles hanya salah satu kasus, dari sekian banyak kasus penipuan investasi, bisnis dan MLM bodong di Indonesia. Kasus lainnya sebut saja Arisan MMM, Pandawa Group, investasi Intan Haji Lihan, Dimas Kanjeng, Kampoeng Kurma, Properti Syariah, Jabon, First Travel, United Swissindo dan lain-lain.

Kerugian masyarakat akibat penipuan tersebut cukup besar. Otoritas Jasa keuangan (OJK) mencatat dalam rentang 2008 – 2018, kerugian masyarakat mencapai 88,8 trilyun. Tentu saja ini hanya yang terpantau dan tercatat. Sepanjang interaksi penulis dengan para korban, utamanya di pedesaan, mayoritas mereka tidak memperpanjang urusan dengan, misalnya, menempuh jalur hukum. Mereka khawatir kerugian justru akan bertambah, karena proses hukum butuh biaya. Sementara dana belum tentu kembali. Yang demikian pasti tidak terpantau dan tercatat oleh otoritas.

Selain bentuk dan skema investasi yang semakin beragam, pelaku juga semakin kreatif dalam menjerat korban. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pada Mei 2016 Kaspersky Lab dan B2B Internasional merilis hasil penelitian yang menyebutkan 26 persen konsumen Indonesia kehilangan uang akibat penipuan daring (online). Hal itu menjadikan Indonesia menjadi negara dengan korban penipuan daring tertinggi di dunia, diikuti oleh Vietnam (25 persen) dan India (24 persen).

Pertanyaannya kemudian, mengapa sebagian masyarakat begitu gampang tergiur dengan iming-iming investasi yang, bagi yang berfikir normal, tidak masuk akal ? 

Faktor pertama patut diduga adalah ketamakan (greedy). Sebagai contoh MeMiles menawarkan reward berupa Mobil Fortuner hanya dengan menyetor uang sebesar Rp. 8,4 juta. Sebagian dari korban bukan mereka yang kekurangan secara materi. Dia mampu membeli mobil tersebut dengan uang sendiri, tapi tentu tidak seharga 8,4 juta. Didorong oleh sifat tamaknya, mereka yang sudah berkelimpahan materi ingin mendapatkan lebih banyak lagi dengan cara gampang. Bahkan rata-rata mereka berpendidikan cukup, dan tidak gagap teknologi. Jika mau, ia dengan gampang dapat mengakses informasi tentang mana investasi yang legal dan yang tidak. Tetapi ketamakan telah menjauhkan mereka dari melakukan itu.

Erich Fromm (1900 - 1980), seorang filsuf humanis, psikoanalis, dan psikolog sosial- mendefinisikan ketamakan sebagai suatu jurang tanpa dasar yang menguras energi seseorang dalam upaya tanpa henti untuk memenuhi satu kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan. Termasuk di dalam ketamakan adalah egoisme.

Faktor kedua adalah ketidaktahuan. Hal ini terutama terjadi pada korban di daerah pedesaan. Banyak pelaku menyasar mereka dengan pertimbangan pendidikan mereka yang rendah, keterbatasan akses informasi dan keterbatasan akses bantuan hukum. 

Penulis mengalami sendiri betapa sulitnya menjelaskan kepada mereka bahwa investasi yang mereka ikuti, selain ilegal juga bodong. Dus alih-alih untung, yang ada malah buntung. Harapan yang melambung menutup mata dan telinga mereka dari penjelasan. Saat bangunan skema Ponzi runtuh mereka hanya bisa pasrah tak berdaya. 
 
Cerita akhirnya bisa ditebak : terlepas apakah pelaku diproses hukum atau tidak yang sudah pasti adalah uang mereka tidak kembali. Korban tipe kedua ini bisa jadi tidak kalah banyaknya dengan korban tipe pertama.

Enough is enough. Sudah saatnya pemerintah bersama-sama masyarakat menghentikan semua ini. Secara struktural pemerintah telah memiliki perangkat yang bertanggung jawab atas hal ini, yaitu OJK. Sebuah institusi yang memiliki visi menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum.

Dalam upaya memaksimalkan perlindungan konsumen dan masyarakat OJK membentuk Satgas Waspada Investasi yang merupakan kolaborasi antara tujuh instansi yaitu OJK, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Pada 2019 OJK telah menghentikan 444 entitas investasi bodong, meliputi perdagangan valuta asing tanpa izin, investasi money game, equity crowdfunding ilegal, multilevel marketing tanpa izin, perdagangan kebun kurma, investasi properti, penawaran investasi tabungan, penawaran umrah, investasi cryptocurrency tanpa izin, dan koperasi tanpa izin.Angka ini terus meningkat dari yang 2018 sebanyak 108, dan tahun 2017 sebanyak 80.

OJK secara terus menerus melakukan edukasi kepada masyarakat baik online maupun offline. Di website-nya OJK menyediakan daftar perusahaan invetasi maupun fintech, baik yang berijin maupun tidak, sebagai referensi bagi nasabah saat akan menginvestasikan uangnya.

Namun demikian, bagi mereka yang tamak, seberapapun lengkap dan jelasnya informasi yang disediakan OJK, sepertinya mereka tidak akan mengacuhkan. Bahkan, tahukah Anda beberapa orang yang paham skema Ponzi, sengaja mengambil keuntungan dengan strategi hit and run ; saat ia yakin investasi tersebut masih dalam periode awal ia bergabung dan segera keluar saat sudah mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, ia dengan sadar mengambil keuntungan dari kerugian nasabah berikutnya. Dan bagi mereka yang punya keterbatasan akses informasi, seberapapun lengkap dan jelasnya informasi yang disediakan OJK mereka tidak bisa memanfaatkan itu.

Penulis berpendapat perlu ada pendekatan baru dalam memerangi investasi bodong. OJK perlu ‘beroperasi secara teritorial’ ; menjalin kerjasama dengan struktur pemerintahan hingga level terendah yaitu Rukun Tetangga (RT). Kepengurusan RT berikut jajarannya beserta warganya diberdayakan sebagai ujung tombak edukasi masyarakat sekaligus ‘mata dan kuping’ OJK. Dengan ini diharapkan, jika ada aktifitas yang patut diduga investasi bodong dapat dideteksi lebih dini sebelum memakan korban lebih banyak. 

Kaki tangan penjahat investasi itu sering menjaring korbannya dengan bergerilnya dari pintu ke pintu, dari gang ke gang, dari tempat nongkrong satu ke tempat nongkrong lainnya, maka ia perlu dihadapi di ‘medan perang’ yang sama. Dengan ini, dalam jangka pendek diharapkan gerak penjahat investasi dapat dibatasi. Dan dalam jangka panjang diharapkan akan terbentuk masyarakat yang sadar investasi legal sekaligus waspada investasi bodong, yang pro aktif melaporkan setiap kali ada dugaan investasi bermasalah.

Penegakan hukum yang tegas dan proses hukum yang transparan wajib terus dilakukan dan digaungkan untuk menyampaikan pesan kepada siapapun yang memiliki niat jahat dalam investasi, bahwa pemerintah siap dan selalu hadir untuk melindungi konsumen dan masyarakat.

Pada akhirnya, calon investor, siapapun dia, perlu memegang prinsip dalam dunia investasi bahwa “too good is not good”. Jika pengelola menjanjikan return yang fantastis kemungkinan besar investasi yang ditawarkannya bodong. 

Setor Rp. 8,4 juta dapat Fortuner ? Fix, bodong !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar