Jumat, 02 Oktober 2020

Panglima Yang Terluka

Photo : id.berita.yahoo.com

Namanya Turmudzi (bukan nama sebenarnya), seorang lelaki berperawakan tinggi, besar dan gagah. Kulit gelap serta kumis melintang menambah wibawanya. Ia putra seorang ulama sekaligus tokoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin)  di Kabupaten Boyolali. Keluarganya terpandang dan terhormat.

Saat itu, Boyolali merupakan wilayah basis PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Pemilu 1955 di kabupaten itu  PKI menang telak dengan memperoleh 150.097 suara. Disusul Masyumi dengan 43.298. Kemenangan yang luar biasa. Suara Masyumi yang berada di peringkat kedua tidak sampai sepertiganya. 

Bagi seorang Masyumi, tinggal di daerah seperti itu layaknya uji nyali. Ngeri-ngeri sedap. Apalagi PKI beserta organisasi underbow-nya terkenal agresif dalam meluaskan pengaruh. 

Rivalitas politik yang tinggi melahirkan gesekan hingga bentrokan di akar rumput. Tak terkecuali keluarga Turmudzi dengan pendukung PKI. Namun sejauh itu belum pernah terjadi bentrokan secara frontal. Salah satu sebabnya PKI pasti akan berhitung ulang untuk menggangu keluarga itu, karena ada Turmudzi di sana.  

Laiknya santri jaman dulu, selain belajar agama mereka juga belajar silat dan ulah kanuragan. Turmudzi pun demikian. Ia terkenal sebagai pendekar pilih tanding. Nyali serta kehebatannya dalam beladiri tidak diragukan lagi. 

Namun PKI tidak kurang akal. Tidak berani mengganggu secara langsung, mereka memilih jalan memutar. Membidik sasaran yang empuk dulu, soft target, yaitu kerabat Turmudzi. 

Maka mulailah satu persatu kerabat Turmudzi ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Bermula dari Pakdenya. Ditemukan meninggal dalam kondisi terikat di sebuah jurang. Akibat peristiwa ini Budenya depresi berkepanjangan. Beberapa waktu kemudian Pak Liknya tergantung di sebuah pohon di ladang tak jauh dari pemukiman.  Tak berselang lama sepupunya tewas ditusuk orang tak dikenal dalam kejadian pembegalan saat pulang dari pasar. Demikian berturut-turut kejadian-kejadian tragis menimpa kerabat-kerabat yang lain. 

"Kerabat saya hampir habis Dik. Tinggal beberapa yang selamat. Saya tahu, PKI sedang memainkan strategi double kill, membunuhi sedulur saya satu-satu sekaligus ingin menjatuhkan mental keluarga saya. Mereka berfikir saat mental kami jatuh akan gampang 'diselesaikan' " Cerita beliau, kepada bapak saya, pada suatu senja ditingkahi gemericik air hujan yang jatuh dari teritisan rumah.  

Beliau memang sahabat baik keluarga kami. Beliau memanggil bapak saya Dik. Bapak memanggilnya Mas. 

Di masa tuanya beliau rutin berkunjung ke rumah kami. Dalam kunjungan-kunjungan itulah beliau berkisah banyak tentang salah satu episode hidupnya yang paling penting sekaligus genting ; mempertahankan hidup dan kehormatannya dari kekejian PKI.

Menghadapi kenyataan kerabatnya diperlakukan demikian amarahnya membuncah. Tidak ada kata lain dalam pikirannya kecuali balas dendam. 

Hingga datanglah kesempatan itu. RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) mulai masuk ke daerah-daerah, tidak terkecuali Boyolali. Mereka diberi tugas untuk  membasmi anggota dan simpatisan PKI sebagai imbas percobaan kudeta komunis yang gagal pada 30 September 1965. 

Bergegas ia mengumpulkan pengikut dan membentuk pasukan. Dia sendiri yang menjadi panglimanya. Berbekal pemahamannya tentang wilayah basis PKI, ia merangsek ke daerah-daerah sekitar. Dendam yang membara menjadi bahan bakar amukannya. Ditambah keyakinan bahwa membunuh orang PKI adalah membunuh musuh agama dus musuh Tuhan. Bersama pasukannya, desa demi desa, dusun demi dusun ia bumihanguskan. Catatan kecil dalam sakunya menjadi petunjuk siapa-siapa yang harus 'diambil' untuk kemudian dieksekusi. 

Semua orang bergidik mendengar namanya. Sosoknya sering digambarkan sebagai seorang yang keras dan tidak kenal ampun kepada segala hal yang berbau PKI. Kelewang panjang yang disandangnya makin menegaskan kegarangannya.

"Kalau ada kabar Pak Turmudzi akan masuk suatu desa, semua orang lari bersembunyi, baik pengikut PKI atau bukan. Bahkan mereka mengungsi dan bersembunyi di tempat yang sama" Kata Pak Suranto, Guru olahraga SD saya yang juga berasal dari Boyolali. 

Kalau orang PKI wajar takut, tapi yang bukan PKI kenapa mesti takut? 

"Takut salah sasaran" Kata Pak Suranto singkat. 

Sebuah alasan yang masuk akal. Pada masa itu kadang sulit membedakan siapa kawan siapa lawan. Strategi infiltrasi komunis membuat mereka ada di mana-mana tanpa terendus, bahkan di dalam organisasi-organisasi keagamaan.

Dalam suatu kesempatan bapak saya pernah bertanya "Mungkin gak Mas, yang sampeyan bunuh ada yang bukan orang PKI ?" 

Pak Turmudzi diam sambil menarik napas dalam-dalam. Matanya menerawang ke langit-langit. Sejenak hening. "Mungkin saja" Jawabnya lirih hampir tak terdengar. "Apa boleh buat" Lanjutnya seakan meminta permakluman. 

Beliau kemudian bercerita bahwa setidaknya ada dua macam target saat itu. Yang pertama orang-orang yang jelas ke-PKI-annya. Orang-orang ini memang terang-terangan memproklamirkan diri sebagai anggota PKI. Beberapa diantaranya masuk struktur pengurus. Bahkan sebagiannya beliau kenal secara personal. Tidak ada keraguan atas mereka. 

Yang kedua orang-orang yang namanya tertera dalam catatan kecil yang selalu beliau bawa. Ada nama dan alamat lengkap di situ. Konon catatan itu dipasok oleh tentara. Jangankan tahu wajah, bahkan kebanyakan nama-nama itu tidak beliau kenal sebelumnya. 

"Berapa orang yang  sampeyan bunuh, Mas ?" Tanya bapak di lain waktu. 

"Saya sendiri kalau 80-an sepertinya ada. Yang oleh anah buah saya, entah berapa"  Jawab Pak Turmudzi

Waktu berlalu. Pemerintahan Orde lama tumbang digantikan Orde Baru. PKI dibubarkan. 

Suatu malam Pak Turmudzi dipanggil bapaknya. Ada kegalauan di mata sosok sepuh itu memandang anak lelakinya yang duduk takzim di hadapannya. 

"Wis mantep tenan kowe, Le (benar sudah mantap kamu, Nak) ?" Tanyanya dengan wibawa seorang ulama sekaligus orang tua. 

"Sampun, Rama (Sudah, Bapak)" Pak Turmudzi menjawab dengan penuh rasa hormat. 

"Yo wis, nek ngono wiwit saiki ora ana maneh urusan bapak anak aku karo kowe (Ya sudah, kalau begitu mulai sekarang tidak ada lagi hubungan bapak anak antara saya dengan kamu)" 

Pak Turmudzi terhenyak mendengar itu. Ia masih termangu saat orang tua itu beranjak dari hadapannya dengan wajah kecewa. 

Ini seperti sebuah drama dengan plot twist. Akhir cerita tidak terduga. Kadang tidak sesuai harapan penonton. Bahkan membuat kecewa. Tapi bukankah dunia tempat segala kemungkinan ? Pahlawan tidak selalu tampil sempurna. Sepanjang masih manusia maka ia tentu memiliki sisi lemah. 

Pak Turmudzi, putra seorang ulama, sosok hero pembela agama itu, pada masa senjanya, sepeninggal istrinya yang meninggal setelah menderita sakit bertahun-tahun, menyatakan diri 'tidak mau lagi menjalankan syariat Islam", misalnya sholat, puasa dan sebagainya.

Beliau memilih menekuni aliran kepercayaan kejawen dalam sisa hidupnya. Meskipun secara formal (di KTP dan dokumen kependudukan lainnya) beliau tetap beragama Islam. Tidak ada yang tahu pasti latar belakang keputusan ini.

Itulah sebabnya orangtuanya tidak lagi menganggapnya anak. 


اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا، وَمَيِّتِنَا، وَصَغِيرِنَا، وَكَبِيرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا

Ya Allah, ampunilah orang yang hidup dan yang sudah meninggal di antara kami, yang masih kecil dan yang sudah dewasa, yang laki-laki maupun perempuan, yang hadir maupun tidak .....” (Al-Adzkar An-Nawawi).


Disclaimer :
Kisah-kisah ini berasal dari tuturan kakek, nenek, orang tua, guru serta lingkar pergaulan saya di kampung, sebuah dusun di lereng Merapi, dimana kaum komunis pernah berusaha mendominasi wilayah itu. Beberapa adegan merupakan hasil imajinasi saya semata, namun tetap sejalan dengan substansi cerita. Apakah kisah-kisah ini benar adanya ? Saya mempercayainya. Anda percaya silahkan, tidak  juga boleh. Bebas-bebas saja.Meskipun secara substansi saya meyakini kebenarannya, namun secara detil cerita mungkin ada bias di sana-sini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar