Sabtu, 24 Oktober 2020

PKI Ndasmu !

Foto: roblang.photoshelter.com

Suatu pagi di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, tahun 1975. Adik saya yang berusia 2 tahun, berada di gendongan Ibu. Sementara saya yang 5 tahun, menggelendot manja di gandengan tangan.  Bertiga, kami berjalan santai sepulang membeli bubur di warung langganan kami, warung Lik Madiyo. 

Tiba-tiba sayup-sayup jauh di belakang terdengar gemeruduk suara  kaki beradu dengan aspal. Sepertinya banyak orang berjalan bergegas-gegas. Suasana yang lengang mendadak gemuruh, penuh teriakan. Umpatan dan cacian bersaut-sautan diikuti suara rintihan dan tangisan.  

"Jangan nengok-nengok !" Ibu menghardik dengan gusar, saat tahu saya  berusaha melihat ke belakang. Ibu berjalan cepat. Kaki saya yang mungil susah payah mengimbangi langkahnya.  Ibu terus menarik tangan saya hingga saya terseret-seret. 

Sesampainya di rumah ibu menutup seluruh pintu rapat-rapat dan membawa adik ke ruang tengah. Saat itu rumah kami masih berdinding bambu. Mengikuti insting keingintahuan anak kecil, saya lekatkan wajah ke dinding, mengintip lewat sela-sela anyaman bambu. 

Sampailah di depan rumah rombongan gemeruduk tadi. Seorang perempuan bertubuh gemuk dengan kondisi mengenaskan ditandu di atas lincak *). Wajahnya rusak. Bengkak dan terluka di sana-sini. Seperti wajah Tony Fergusson saat dihajar Justin Gaethje. Darah mengalir deras membasahi tubuhnya. Sumpah serapah terdengar dari anggota rombongan. Sesekali seseorang menyabetkan alas kaki ke tubuh perempuan itu. 'Ceplaak !' Lalu diikuti suara rintihan.

"Patenana sisan wae aku, patenana sisan wae aku (bunuh saja saya sekalian, bunuh saja saya sekalian) !" Perempuan itu meraung-raung kesakitan. 

Pemandangan itu membekas di ingatan saya. Kenapa ibu bergegas pulang mungkin ingin menghindarkan saya dari pemandangan yang tidak kids-friendly itu. 

Saat itu saya tidak paham apa yang terjadi. Bertahun-tahun sesudahnya seseorang memberi tahu saya. "Itu Gerwani yang tertangkap setelah bertahun-tahun bersembunyi" Ujarnya. 

Hmm, saya paham. 

Setelah kudeta oleh PKI yang gagal pada 30 September 1965, terjadi gelombang balas dendam dan amarah. Anggota dan simpatisan PKI diburu di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali di kampung saya. Perburuan itu berjalan bertahun-tahun. Kejadian di atas jika dihitung sejak peristiwa G30S/PKI telah berselang 10 tahun.  

Dendam dan amarah itu nyata. Semua berawal dari provokasi anggota PKI beserta organisasi underbow-nya. Mereka jumawa, mungkin karena -salah satunya- merasa sebagai partai besar: empat besar dalam Pemilu 1955.
 
"Mereka gemar melecehkan umat Islam. Misalnya membuat pertunjukan ketoprak dengan lakon Patine Gusti Allah (Matinya Tuhan)" Kata Pak Daryoto, guru SMP saya. 

"Kali lain, mereka mengejek umat Katolik dengan memainkan lakon Pastor Gandrung (Pastur dimabuk asmara)" Lanjutnya. 

Sebelum pertunjukan, Pemuda Rakyat akan melakukan pemanasan dengan baris-berbaris keluar masuk kampung sambil meneriakkan yel-yel mendukung komunisme. Selama pertunjukan mereka akan menyemburkan hujatan-hujatan kepada siapapun yang mereka anggap musuh. 

Dalam mencari pendukung mereka juga tidak segan-segan melakukan intimidasi. 

"Pemilu nanti PKI pasti menang di sini. Itulah saatnya menghukum para pemuda yang tidak memilih PKI. Mereka semua akan dikebiri" kisah Pak Lik saya, menirukan ancaman dari salah satu dedengkot PKI di wilayah kami, saat mengintimidasi warga agar mencoblos PKI. 

Itulah mengapa saat arah angin berbalik, mereka yang terindikasi anggota atau simpatisan PKI atau organisasi di bawahnya diburu oleh mereka yang merasa tersakiti sebelumnya. 

Salah satu episode perburuan diceritakan oleh Pak Berland,  guru SMP saya yang lain. 

Pada saat itu beliau berusia pertengahan 20-an. Muda, ganteng, gagah, pendekar, pemberani dan yang paling penting anti PKI. Salah satu kegemarannya adalah keluar masuk kampung dan hutan untuk berburu. Sehingga wajar beliau hafal bin paham wilayah kami hingga ke jalan-jalan tikusnya. Orang tidak akan lupa atribut beliau saat berburu : topi laken hitam, jaket kulit coklat dan senapan angin mahal. 

Ketika tentara masuk ke wilayah kami dan membutuhkan penunjuk jalan beliau jadi pilihan pertama. Saat itu tentara sedang mencari Mbah Kromo, pemimpin sebuah padepokan di lereng Gunung Merapi yang sering didatangi Pemuda Rakyat untuk meminta 'isian'. Bisa dikatakan ia semacam 'guru spiritual' orang-orang komunis.

Pak Berland tidak asing dengan sosok ini. Sebagai seorang pendekar beliau hafal padepokan-padepokan silat di sekitarnya berikut pengasuhnya.

Singkat cerita, pasukan tiba dan langsung mengepung padepokan. Perintah menyerah diteriakkan berkali-kali oleh komandan pasukan. Namun tak ada sahutan dari dalam. 

Setelah menunggu sekian lama, barulah muncul sosok yang dicari. Bukannya menyerah, Mbah Kromo malah menantang tentara untuk menangkapnya. Tangannya mengacung-acungkan sebilah pedang. Tentara menyambutnya dengan tembakan peringatan beberapa kali. Ia bergeming. Bukannya berhenti, ia malah nyerocos 'berpidato' tentang pembelaan PKI kepada petani penggarap, buruh, kebejatan moral tuan tanah, lintah darat dan lain-lain. 

Tembakan mulai diarahkan ke tubuh. Dor ! Di luar dugaan, sosok tua itu tetap berdiri kokoh. Timah panas tidak mampu menumbangkannya. Hanya menyentuh kulitnya kemudian memantul ke tanah.  Sekali, dua kali, berkali-kali. Bahkan berondongan sekalipun berakhir sia-sia. 

"Saya kenal banyak orang sakti. Tapi melihat Mbah Kromo begitu, saya terkaget-kaget" Cerita Pak Berland saat itu di depan kelas. 

Tentara mengulur waktu. Membiarkan Mbah Kromo meneruskan pidato berapi-apinya. Saat ia jeda sejenak, tentara menghadiahi sebutir peluru. Di dadanya. Di perutnya. di kepalanya. Begitu berkali-kali. "Dibawa santai aja, Bro, ntar juga lowbatt sendiri" Mungkin begitu pikiran para serdadu. 

Akhirnya tibalah saat itu. Mbah Kromo terduduk kehabisan tenaga. Saat tentara mencoba meringkusnya, ia minta waktu berbicara dengan Pak Berland. Konon, seorang pendekar dapat dengan mudah mengenali ciri-ciri pendekar lainnya.

“Renea cah bagus (mendekatlah anak ganteng)”  ucapnya lemah. “Cuma kamu yang tahu urusan ini, bukan tentara-tentara keparat itu”  Suaranya pelan tapi penuh tekanan tanda menahan amarah.

"Kamu sudah melihat sendiri cekelan (ajian) saya. Tapi ketahuilah, meski di luar tubuh saya utuh, tapi di dalam sebenarnya hancur lebur" Napas Mbah Kromo tersengal-sengal. 

"Umur saya tidak akan lama lagi. Saya tidak ingin ilmu ini putus begitu saja tanpa ada yang meneruskan. Saya ingin memberikannya kepadamu" Mbah Kromo menata napas sejenak. 

"Gelema yo Le (mau ya Nak)"  Mbah Kromo berbisik di telinga Pak Berland yang berjongkok di sampingnya. Suaranya pelan nyaris tak terdengar. Seluruh pasukan menyaksikan dengan senapan terkokang. 

Hari menjelang senja. Semburat jingga menyaput langit barat. Suara tonggeret bersahut-sahutan pertanda kemarau segera datang. 

Yang di benak Pak Berland saat itu hanyalah bagaimana misi ini segera selesai. Maka tanpa berpikir panjang ia menjawab, "Nggih Mbah (Iya Mbah)".

"Kemudian Mbah Kromo membisikan wejangan hal ihwal ilmu itu. Bagaimana lelaku (ritual/latihan) nya, bagaimana mantranya, apa pantangannya. Dan sebagainya. Saya dengarkan dengan sabar, seperti mendengarkan wasiat seseorang menjelang ajal" Kisah Pak Berland. 

Karena wejangan itu cukup lama beberapa tentara mulai tidak sabar "Wis rung Mbah (sudah belum Mbah) ?!" Mereka menyela setengah membentak.   

Akhirnya selesailah sudah. Terpancar kelegaan di wajah Mbah Kromo, seperti PNS yang SK-nya 'lulus' dari bank.  

"Ra sah tok bedil. Sabeten wae nganggo godong kelor. Kui pengapesanku (Gak usah kalian tembak, sabet saja pakai daun kelor. Itu jalan kematian saya)"  Mbah Kromo menyampaikan pesan terakhirnya. Saat mengucapkan kalimat ini matanya terpejam. Napasnya timbul tenggelam seperti pasien Covid tidak dipasangi ventilator. Ia sendiri yang meminta agar segera diakhiri hidupnya. 

Lamat-lamat terdengar suara adzan Maghrib dari arah lembah. Kelelawar berseliweran keluar dari sarangnya. Matahari terbenam. Hari mulai malam. Terdengar burung hantu suaranya jelek. Gugu.. gugu ..gugu gugu gugu.  

Seorang tentara tanpa ragu menyabetkan seranting daun kelor yang di dapat dari kebun penduduk, ke tengkuk Mbah Kromo. Tubuh renta itu bergetar hebat, menggigil, mendengkur. Lalu hening .....

Pagi itu surya bersinar cerah. Angin tenggara bertiup sepoi-sepoi membawa bau harum putik sari bunga melati. Di kejauhan Gunung Merapi berdiri gagah. Tak henti-henti mengepulkan asapnya. Seolah bercanda dengan cahya mentari yang  tak lelah mencumbui lereng-lerengnya.   

Sebagai penghargaan atas bantuannya, Pak Berlan diajak ke Yogyakarta bertemu komandan operasi. 

"Numpak helikopter, Cah (naik helikopter, guys), he,he,he" Pak Berlan menceritakan hal itu sambil terkekeh jenaka. Wajahnya berbinar seperti anak sekolah mendengar bel tanda pulang.  

Sesampainya di Yogyakarta, dengan ditemani beberapa prajurit, Pak Berland memasuki gerbang markas. Tiba-tiba dari arah dalam tentara-tentara yang sedang berolah raga menyambutnya. 

"PKI ne ganteng, PKI ne ganteng !" Riuh rendah serdadu-serdadu itu bersorak sorai. 
"Ganteng-ganteng koq monyet PKI" Teriak yang lain setengah mengejek.
   
"PKI ndasmu !" umpat Pak Berland dalam hati kesal.  Rupanya ia dikira orang komunis yang berhasil diciduk dari persembunyian.

Hingga akhir hayatnya, tidak ada cerita apakah Pak Berland mengamalkan ilmu Mbah Kromo atau tidak. Toh tidak penting juga khan ?  

*) Lincak adalah bangku panjang terbuat dari bambu. Biasanya ditaruh di beranda depan rumah Jawa, sebagai tempat untuk bersantai.  

Disclaimer :
Kisah-kisah ini berasal dari tuturan kakek, nenek, orang tua, guru serta lingkar pergaulan saya di kampung, sebuah dusun di lereng Merapi, dimana kaum komunis pernah berusaha mendominasi wilayah itu. Beberapa adegan merupakan hasil imajinasi saya semata, namun tetap sejalan dengan substansi cerita. Apakah kisah-kisah ini benar adanya ? Saya mempercayainya. Anda ? Percaya silahkan, tidak  juga boleh. Bebas-bebas saja. Meskipun secara substansi saya meyakini kebenarannya, namun secara detil cerita mungkin ada bias di sana-sini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar