Jumat, 02 Oktober 2020

Suradi Blêdhèg, MMC dan Grayak

Photo : Koleksi pribadi

27 Januari 1951 satu regu patroli terdiri dari satu regu Yonif 417, CPM dan 30 polisi menyusuri jalan dari Kota Klaten melewati Kebonarum, Karangnongko, Kemalang naik menuju lereng Gunung Merapi.  

Mereka ditugaskan untuk membubarkan rapat gerombolan MMC (Merbabu Merapi Complex) di Dusun Kaliwuluh sekaligus menangkap tokoh-tokohnya. 

MMC adalah kumpulan eks kombatan perang kemerdekaan yang kecewa karena tersingkir imbas kebijakan Re-Ra (Reorganisasi Rasionalisasi) Kabinet Hatta. Kebijakan ini mensyaratkan hanya eks kombatan yang pernah dilatih KNIL atau eks PETA yang dapat direkrut menjadi tentara yang digaji pemerintah. Petempur tanpa 'pelatihan formal' silahkan minggir. 

Merasa senasib sepenanggungan mereka memutuskan memberontak kepada pemerintah dan membuat basis di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu, di hutan dan jurang yang sulit dijangkau pasukan pemerintah.

Untuk mencukupi logistik mereka berkomplot dengan bandit lokal yang sudah eksis lebih dahulu yaitu Grayak (Gerakan Rakyat Kelaparan). Adalah lazim saat itu ketika sebuah rumah dirampok, berita yang berkembang di masyarakat adalah 'rumah itu digrayak'. Kata grayak sudah menjadi sinonim baru kata rampok. 

Jarahan favorit mereka sapi. Selain untuk persediaan logistik di persembunyian, sapi juga dikirim ke Semarang sebagai penukar senjata yang dipasok serdadu Belanda. Mereka juga gemar mendatangi pesta adat seperti pernikahan atau khitanan untuk melucuti perhiasan hadirin. Itulah mengapa saat itu orang tidak berani mengenakan perhiasan saat menghadiri pesta. "Wedi (takut) digrayak" Kata nenek saya.  

Aksi-aksi kriminal ini menimbulkan keresahan yang akhirnya melahirkan antipati terhadap gerakan ini.  

Pada awalnya MMC tidak berafiliasi kepada partai politik atau ideologi manapun. Seiring berjalannya waktu, orang melihatnya mempunyai hubungan erat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal itu dipengaruhi salah satunya, karena banyaknya eks kombatan berideologi komunis, yang bergabung dengan MMC.   

Salah satu dedengkot MMC adalah Suradi Blêdhèg ( 'e' pertama dibaca seperti kerbau, 'e' kedua dibaca seperti bebek). Blêdhèg (Bhs. Jawa) berarti petir. Ia mendapat julukan itu karena suaranya yang mengguntur menggelegar. Ia juga terkenal sakti mandraguna. 

Singkat cerita, pergerakan pasukan itu terendus telik sandi MMC yang segera menginformasikan ke peserta rapat. Suradi Blêdhèg bergerak cepat membubarkan rapat. 

Apakah mereka bubar untuk lari dan sembunyi ? Sama sekali tidak. Bukan Suradi Blêdhèg jika tidak nekat. Ia justru memerintahkan orang-orangnya untuk menyongsong pasukan itu.

Di sepanjang perjalanan mereka menggedor rumah orang-orang untuk dipaksa bergabung.  Di bawah ancaman senjata, rakyat yang sebenarnya membenci mereka terpaksa bergabung dengan membawa senjata seadanya ; arit (sejenis celurit), pedang, parang, kelewang, kapak, linggis, tongkat, balok kayu dan sebagainya. Dalam waktu singkat massa yang semula puluhan itu menjadi ratusan. 

Di Desa Dompol, tiga kilometer dari lokasi rapat, kedua kelompok bertemu. Pasukan patroli sama sekali tidak menduga akan dihadang massa sedemikian besar. Membenturkan pasukan dengan massa sebanyak itu sama saja bunuh diri. Dengan segera komandan memutuskan untuk mundur. 

Tragedi dimulai. Pasukan lari kocar-kacir dikejar massa dengan beringas. Satu persatu tertangkap dan (maaf) dicincang di pinggir jalan. Massa semakin membesar karena sepanjang pengejaran, gerombolan terus menggedor rumah-rumah penduduk dan memaksa mereka bergabung. 

Konon, hanya tersisa satu orang yang selamat. Tentara itu, the last standing man, menceritakan bahwa saat sampai di Desa Mipitan, enam kilometer dari Desa Dompol, ia sudah hampir tertangkap. Beruntung ada truk pengangkut tembakau lewat. Dengan tenaga yang tersisa ia melompat ke atas truk. Sopir yang menyadari situasi segera melajukan kendaraannya. Maka selamatlah dia. 

Akibat kejadian itu pemerintah bertindak tegas dengan menggelar tiga operasi sekaligus yaitu Operasi Merdeka Timur 1 (OMT 1) , Operasi Merdeka Timur 2 (OMT 2) serta Operasi Merapi Merbabu (OMM). 

Pada 1 April 1951 Suradi Blêdhèg berhasil ditewaskan oleh tentara di Desa Brintik, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten.

Tersisa kisah saat benggol itu tewas. Dikisahkan Suradi Blêdhèg selalu berpindah tempat. Lari kesana kemari, berganti tempat sembunyi. Menghindari pengejaran. Sekali dua hampir tertangkap namun selalu lolos. Tapi pelarian semakin sulit saat tentara mulai melibatkan aparat desa untuk mempersempit ruang geraknya. 

Kisah berakhir di sebuah rumah persembunyian. Saat ia disergap seorang tentara muda. Kelelahan fisik dan mental membuatnya tak mampu lagi berlari. Namun, konon, sisa-sisa kesaktiannya masih bertuah. Berondongan senapan, jangankan membunuhnya, menggores kulitnyapun tidak.

"Anak muda, kamu hanya bisa menyakitiku, tapi tidak membunuhku. Hanya saya sendiri yang bisa melakukannya" Katanya lirih. 

"Berikan pistolmu anak muda. Biar saya akhiri hidupku sendiri. Cukup sudah penderitaanku di dunia ini. Aku lelah. Percayalah ini bukan siasat. Kamu lihat sendiri berjalan saja saya kesusahan" Lanjutnya menghiba. 

Entah mengapa tentara itu percaya. Setelah menerima pistol, dengan mengesot Suradi Blêdhèg masuk ke salah satu kamar. Sesaat kemudian terdengar letusan. Dor !

Saat ditengok jasadnya telah terbujur kaku. Darah membanjir membasahi lantai. Pistol terselip di -maaf- anusnya. Ia menembak dirinya di bagian itu. 

Ternyata itu rahasia kesaktiannya.  

Disclaimer :
Kisah-kisah ini berasal dari tuturan kakek, nenek, orang tua, guru serta lingkar pergaulan saya di kampung, sebuah dusun di lereng Merapi, dimana kaum komunis pernah berusaha mendominasi wilayah itu. Apakah kisah-kisah ini benar adanya ? Saya mempercayainya. Anda percaya silahkan, tidak  juga boleh. Bebas-bebas saja.Meskipun secara substansi saya meyakini kebenarannya, namun secara detil cerita mungkin ada bias di sana-sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar